Follow Us @soratemplates

28 Juli 2013

Kisah Putri Karate dan Si Raja Hutan (part I)

6:29 PM 0 Comments
Pada zaman yang tak terkira lamanya. Jauh dan jauh di pedalaman gunung tak bernama, tinggallah seorang anak bernama Sandra. Ia tinggal dengan neneknya di sebuah pohon yang dengan ajabnya telah berubah menjadi sebuah rumah. Mereka berdua hidup dengan rukun dan damai. Hidup di pegunungan membuat Sandra berteman dengan binatang-binatang yang ada disana. Saat Sandra berusia  12 tahun, dia mendengar suara raungan seekor binatang dari dalam hutan. Sandra mencari asal usul suara itu. Setelah jauh berjalan di tengah-tengah gunung, Sandra melihat seekor bayi singa yang sedang menangis, tak jauh dari sana Sandra melihat dua ekor singa yang sudah mati, badannya dipenuhi luka-luka. Bayi singa itu sekarang telah menjadi sebatang kara. Sandra melihat tusukan pisau pada induk si bayi singa. Sandra lalu mengambil pisau itu. Di pisau itu terdapat sebuah ukiran berbentuk naga. Kemudian ia menyimpan pisau itu dan memutuskan untuk merawat bayi singa itu dan menamainya dengan Kingli. Sandra sudah diajari ilmu bela diri oleh neneknya saat berusia lima taahun, dan semenjak kehadiran Kingli, Sandra mempunyai teman dan lawan main dalam berlatih ilmu bela diri. Kehebatan Kingli dalam ilmu bela diripun, hampir sama hebatnya dengan Sandra. Sandra dan Kingli telah menjadi sahabat dekat. Setiap sore, sepulang mencari makanan di hutan, mereka selalu lomba lari melewati rawa-rawa dan tempat-tempat bernahaya lainnya. Hutan telah menjadi tempat bermain bagi Sandra.
“Kingli, dimana kamu..?”
“Kingliiiiii.... jangan bercanda, dimana kamu?” Kingli menghilang saat mencari daun obat-obatan di tengah rawa. Sandra berjalan menelusuri jalan sambil berteriak memanggil Kingli. Namun, ia tak kunjung muncul. Kemudian ia melihat kalung pemberiannya kepada Kingli, saat ia memenangkan lomba lari. Sandra kaget melihat kalung itu di lumuri darah. Sandra melihat banyak tetesan darah di atas dedaunan. Ia mengikuti jejak darah itu. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah Sandra di sebuah kota. Sandra melihat banyak orang yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sandra terpana dengan pemandangan yang sedang dilihatnya. Sebuah kota besar dengan pemandangan yang sangat eksotik, ditengahnya terdapat sebuah istana yang sangat megah dengan menara yang menjulang tinggi mengelilinginya. Kemudian perhatian Sandra teralihkan oleh seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang pemuda. Pemuda itu memegang sesuatu, dan... itu Kingli, ia terjebak di dalam jeruji besi. Pemuda itu membawa Kingli memasuki istana. Sandra berlari mengejarnya. Saat memasuki pintu gerbang, Sandra dicegat oleh beberapa pengawal. Sandra memaksa masuk dan para pengawal itupun dibuat pingsan olehnya.
“Kimgli... dimana kamu?” Sandra berteriak memanggil. Keributan yang dibuatnya membuat heboh istana. Pengawal-pengawal istana mengejarnya, tapi lagi-lagi Sandra membuat para pengawal itu tidak bisa berkutik. Puluhan pengawal berhasil dibuatnya pingsan dengan jurus karatenya. Saat memasuki istana, Sandra berhasil di tangkap.

bersambung...

23 Juli 2013

Jalanan Bukan Pelarian

9:31 AM 0 Comments


“Hidup di jalan bukan untuk pelarianJalanan bukan sandaranJalanan bukan pelarianJalanan bukan hayalan”

Bait diatas hanya sepenggal dari sekian bait yang dinyanyikan oleh anak-anak jalanan. Ingatkah kamu akan bait-bait yang dinyanyikan oleh anak jalanan? Bait yang mereka nyanyikan bukanlah sekedar bait untuk menghibur para pendengar.

Bait itu adalah suara hati mereka.
Bait itu adalah jeritan hati mereka.
Bait itu adalah hidup mereka.

            Ada satu bait lagi yang membuatku terpaku “jalanan adalah sekolah kami”. Tidak terbayang dipikiranku, bagaimana bisa jalanan menjadi sekolah bagi mereka. Tapi itulah realitanya. Saat aku bisa menikmati sekolah dari sekolah dasar bahkan taman kanak-kanak hingga kuliah seperti saat ini, sedangkan mereka belajar melalui sepak terjang kerasnya hidup. Saat memikirkan anak jalanan, banyak hal yang aku pikirkan. Banyak gambaran yang terbayang diotakku, anak kecil, preman, ibu-ibu, bahkan yang lanjut usia, ada juga yang sering duduk dipinggiran jalan ataupun yang di jembatan. Saat aku mengingat mereka, aku berpfikir, mereka adalah saudaraku. Ya Allah ampuni aku yang masih lalai dengan saudaraku. Bahkan saat mereka bernyanyi di angkutan umum, aku bahkan pernah merasa risih dengan kehadiran mereka, mungkin dengan pakaian mereka, ataupun kata-kata mereka yang terkadang membuatku takut.
            Seandainya aku terlahir seperti mereka...
Sungguh aku bersyukur padaMu ya Allah, aku tidak bisa membayangkan kerasnya hidup mereka, karna aku yakin, faktanya jauh lebih sulit. Tapi, melihat senyuman adik-adik jalanan yang bermain di pinggiran jalan, sering membuatku terkesima. Aku teringat dengan Rio, Fajar, dan teman-teman mereka yang lain. Mereka adalah anak-anak jalanan yang sering bermain dan tidur di sekitar kosanku. Mereka hidup saling berbagi. Makan satu bungkus berdua, tidur bersama, berbagi rezeki, dan saling menghibur satu sama lain. Ada rasa kekeluargaan yang hadir diantara mereka, yang sering membuat diri ini tersindir dan malu.
“jalanan bukan pelarian” kini aku tahu, bahwa jalanan memang bukanlah pelarian, tetapi kehidupan yang harus mereka hadapi. Saudara-saudariku anak jalanan, semoga Allah senantiasa melindungi kalian, menjaga kalian, dan melapangkan rezeki kalian. Terima kasih anak jalanan, meski kalian belajar dari kerasnya hidup di jalanan, tapi aku bahkan orang-orang di seluruh dunia belajar dari kalian.


Salam anak jalanan.