Paris, Perancis
Indahnya
sinar mentari menerangi puncak menara Eiffel. Tak henti-hentinya Fatimah menatap
menara itu sambil mengucap syukur. Dari dulu dia sangat ingin melihat menara
itu dari dekat. Kini, semua telah terwujud. Dua tahun lalu, dia dan teman satu
kampusnya, Sahara, mendapatkan kontrak kerja di Perancis selama dua tahun.
Fatimah lulus di salah satu Universitas di Perancis jurusan arsitektur. Saat
kuliah dia sering melukis dan mendapatkan penghasilan dari lukisannya itu. Melukis adalah hobinya semenjak kecil, namun
menjadi seorang arsitek adalah cita-citanya.
“Lukisanmu sangat cantik.” seorang nenek-nenek
Perancis terkesima melihat lukisan Danau Maninjau milik Fatimah. “Merci, madame”, terima kasih madam.
“Dimanakah ini?” tanya nenek tersebut penasaran melihat keindahan alam
Indonesia.
“Ouest de Sumatra en Indonésie” jawab
Fatimah dengan senyum manisnya. Nenek itu melihat lukisan Fatimah dengan
seksama. Kemudian, terbersitlah di hati nenek itu untuk membeli lukisan tersebut.
“Saya jadi ingin datang ke tempat ini.” kata nenek itu sambil membayangkan dirinya
berada di Danau Maninjau. “Wah, kalau nenek datang ke Indonesia, saya akan
sangat senang sekali menemani nenek berkeliling ke tempat-tempat yang indah dan
mengagumkan.” balas Fatimah dengan bahasa Perancisnya yang lancar. “Wah, itu
terdengar sangat menyenangkan”. Fatimah dan nenek itupun kemudian saling
berbagi cerita dengan serunya. Tanpa dia sadari matahari sudah mulai terbenam.
Fatimah
beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju apartemen. Lokasi apartemennya
tidak jauh dari bangunan yang penuh sejarah itu . Begitu sampai, dia langsung
membuka laptop dan jemarinya mulai sibuk bergerak. Setelah email yang dibuat
nya terkirim, Fatimah pun beranjak dari kursinya untuk mengambil air wudhu. Tiba-tiba
saja punggungnya terasa sakit sekali. Dia hampir tidak bisa untuk berdiri
tegak. “Kamu tidak apa-apa Fatimah?”tanya Sahara. “Tidak apa-apa, mungkin sindrom
setelah haid, biasanya punggungku memang selalu sakit. Tapi entah kenapa kali
ini rasanya benar-benar sakit, dan panggulku juga terasa nyeri.” jawab Fatimah
menahan rasa sakitnya. “Sebaiknya kamu periksakan ke dokter, biar bisa
diobati.”saran Sahara. “Insya Allah tidak apa-apa kok, nanti juga sehat
kembali.”jawab Fatimah.
“Ya
sudah, kamu istirahat saja dulu. Jangan sampai kamu sakit. Besok kita akan
melakukan meeting terakhir dengan Pak
George, dan di minggu terakhir kita bisa
jalan-jalan. Aku sudah tidak sabar ingin berkunjung ke Istana Versailes.” balas
Sahara penuh semangat. Seminggu terakhir di Perancis adalah saat yang
ditunggu-tunggu Fatimah dan Sahara, karena mereka bisa berkeliling ke berbagai
tempat yang dulu tidak sempat mereka datangi.
Sepulang
meeting dengan kliennya, Fatimah langsung
mengecek inbox emailnya. Dia melihat ada satu email masuk. Dari ayahnya.
“Assalamualaikum
anandaku sayang,
Bagaimana
kabarmu disana? Kami harap kamu dalam keadaan baik-baik saja, dan selalu dalam
lindungan Allah S.W.T. Kami sangat senang sekali mendengar kalau seminggu lagi
kamu akan pulang ke Indonesia. Ada kabar baik dari Tiara adik bungsumu,
dia berhasil mendapatkan peringkat pertama
satu sekolah di Ujian Nasional, dan alhamdulillah dia juga berhasil mendapatkan
beasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri dengan jurusan kedokteran. Tapi
sepertinya dia masih bingung, katanya dia juga ingin mendapatkan beasiswa ke luar
negeri seperti kamu dulu. Apapun pilihannya nanti, kita do’akan saja, semoga
itu yang terbaik. Kami sekeluarga sudah tidak sabar lagi menungu kedatanganmu.
Oh iya, Farhan dan Tiara ingin dibawakan
oleh-oleh miniatur menara Eiffel, mereka bilang gantungan kunci yang
kamu berikan dulu terlalu kecil J. Sukses ya nak di sana, semoga Allah selalu melimpahkan
kasih sayangNya padamu. Do’a kami selalu menyertaimu disana.”
Seminggu terakhir benar-benar
dimanfatkan Fatimah dan sahabatnya untuk berlibur. Sahara begitu menikmati
indahnya pesona Istana Versailes. Istana yang begitu megah. Fatimah juga tidak kalah
kagumnya melihat arsitektur gothic,
Notredame. Mereka juga tidak lupa berkunjung ke kota Lyon yang terkenal dengan kulinernya
yang lezat. Sangat menyenangkan menikmati keindahan kota-kota di Perancis, tapi
kebahagiaan untuk kembali ke tanah air adalah sesuatu yang berbeda, dan lebih
dinanti.
Jakarta, Indonesia
Fatimah menunggu sambil mengingat
kenangan manisnya bersama ibu, ayah dan kedua adiknya. Saat masih kecil,
Fatimah sering bermain petak umpet di sebuah taman, dekat rumahmya. Tempat itu
menjadi tempat favorit keluarganya. Fatimah tersadar dari lamunannya saat
mendengar pemberitahuan bahwa, pesawat yang dia tumpangi akan segera mendarat
di Bandara Soekarno-Hatta.
Fatimah melihat keluarganya telah
menanti kedatangannya. Kemudian diapun memeluk ibunya, serta mencium tangan sang
ayah, dan memeluk kedua adiknya
tercinta.
“Bagaimana kuliahmu Farhan, lancar?” tanya
Fatimah.
“Alhamdulillah,
kak. Lancar.” jawab Farhan.
“Gimana nggak lancar, kak. Ada cewek
cantik yang bikin kak Farhan betah ke kampus.”lanjut Tiara. “Kamu ini, masih
kecil, jangan sok tahu deh.” lanjut Farhan. Fatimah hanya tersenyum mendengar
celotehan adik bungsunya itu.
Fatimah banyak bercerita tentang kehidupannya
selama kerja di Perancis. Si bungsu tidak henti-hentinya menggoda kakak
lelakinya. Begitu sampai di rumah, ibunya telah menyiapkan hidangan untuk makan
bersama. Menurutnya, masakan ibunya jauh lebih enak dari masakan manapun.
Melihat senyum anggota keluarganya membuat Fatimah merasa paling beruntung dan
bahagia.
“Oh iya kak, oleh-olehnya ada nggak?”tanya
Tiara penuh harap.
“Yaaah, kakak lupa, dek...” goda Fatimah.
Raut wajah Tiara langsung terlihat kecewa.
“Bercanda, ada di dalam tas kakak,
sebentar ya.” Fatimah beranjak dari kursinya. Tiba-tiba saja Fatimah terjatuh,
pinggulnya terasa nyeri dan punggungnya terasa amat sakit. Fatimah berusaha
untuk menahan rasa sakit yang dideritanyanya. Fatimah tidak ingin membuat
keluarganyanya khawatir, tapi ibunya sudah terlanjur menghampiri dan melihat
kondisi Fatimah. “Kamu kenapa, Nak?” tanya ibunya khawatir. “Tidak apa-apa kok,
Bu. Aku baik-baik saja, cuma sindrom bulanan.” jawab Fatimah. Fatimah merasa
ada yang aneh dengan dirinya. Hampir setiap minggu dia mengeluarkan darah,
seperti pada saat haid. Ia juga sering merasakan sakit di bagian paha, pinggang
dan pinggulnya.
Pada malam hari setelah kejadian itu dia
membuka beberapa situs di internet dan mengetik beberapa gejala yang dialaminya.
Dia membuka beberapa artikel. Semakin banyak informasi yang didapatnya semakin
kuat jantungnya berdetak, nafasnya mulai naik-turun, dan badannya mulai
gemetar, shock.
Fatimah datang ke rumah sakit tanpa
sepengetahuan kedua orangtuanya. Fatimah membuat janji bertemu dengan Dokter
Arini, ginekolog andalan rumah sakit tersebut. Dokter Arini melakukan pemeriksaan
terhadap Fatimah. Dua hari kemudian, Fatimah kembali datang ke rumah sakit.
”Ba..bagaimana hasilnya,...Dok?” tanya
Fatimah dengan cemas. Dia tidak bisa membaca ekpresi DokterArini.
“Fatimah, saya sudah melihat hasil
pemeriksaan kamu. Awalnya, saya sempat mengira terjadi kesalahan terhadap
hasilnya. Namun setelah saya melakukan beberapa kali uji coba, hasilnya tetap
sama. Maafkan saya harus menyampaikan hal ini. Kekhawatiran yang kamu rasakan,
ternyata benar. Hasil lab menyatakan bahwa, kamu mengidap kanker serviks
stadium lanjut.” jawab Dokter Arini.
Hening. Fatimah terpana mendengar
jawaban dari dokter. Dua kata itu, kanker serviks, membuat tubuh Fatimah tidak
berkutik. Badannya dingin dan gemetar, jantungnya berdetak cepat, dan matanya
mulai basah. “Ba..bagaimana mungkin dokter? Saya belum menikah, bagaimana
mungkin.. saya tidak pernah...” kata-katanya terhenti, nafasnya mulai tidak
beraturan, air matanya bercucuran. “Fatimah, saya mengerti bagaimana perasaan
kamu setelah mendengarkan kabar ini. Memang, kebanyakan penyakit ini datang
pada orang yang telah menikah. Namun, pada kenyataannya penyakit ini bisa
menyerang siapa saja.”
“Tapi.. kenapa bisa... Dokter?” tanya
Fatimah.
“Kanker serviks. Disebabkan karena virus
yang bernama papiloma. Butuh waktu 10 hingga 20 tahun seseorang baru bisa
dikatakan terjangkit kanker serviks. Itulah sebabnya penyakit ini terkenal
dengan sebutan sillent killer. Kanker
ini, bisa disebabkan karna pembersihan genital dengan air yang
tidak bersih, misalnya air sungai atau air di toilet umum yang tidak terawat,
atau bahkan sudah terkena virus. Bisa juga
karna pemakaian pembalut wanita yang mengandung bahan pemutih.”
Setelah bicara panjang lebar dengan
Dokter Arini, Fatimah pun pergi meninggalkan rumah sakit dengan persaan hampa.
Dia bertanya-tanya di dalam hati, kenapa dia harus menerima cobaan yang begitu
berat seperti ini. Pikirannya kacau. Seolah-olah kebahagiaan yang baru saja
dirasakannya kemarin langsung hilang ditelan bumi, yang ada hanya kesedihan dan
kesakitan. Fatimah berusaha sekuat mungkin untuk memendam kesedihannya.
“Kamu dari mana saja, Nak? Ibu
khawatir.”tanya ibunya cemas.
“Maaf, Bu. Tadi aku pergi tanpa izin.”
balas Fatimah. “Ya sudah, lain kali jangan lupa minta izin lagi, ibu khawatir.
Kamu belum makan kan, ibu sudah masak makanan kesukaan kamu.”balas ibunya
sambil tersenyum. Fatimah memperhatikan wajah ibunya. Wajah itu begitu damai, dan
pancaran kebahagiaan terlihat jelas di matanya. ‘Apa yang akan terjadi dengan
wajah ini, seandainya dia tahu aku sakit parah? Apa senyuman di wajah ini akan
hilang karena diriku?’. batin Fatimah tidak kuat menahan kesedihannya. Dia
membalas seyuman ibunya dan segera berlalu ke kamar.
Semalaman dia menahan tangis sambil
terisak-isak, memendam perasaannya. Fatimah tidak ingin ada yang tahu soal
penyakitnya. Dia memutuskan untuk bertahan. Selama beberapa hari dia
mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter secara diam-diam.
Suatu hari saat Tiara sibuk mencari buku
referensi ujian di kamar kakaknya, tiba-tiba saja dia mencium bau tidak enak.
“Kenapa Tiara, kok mengernyit begitu?”tanya Fatimah. “Kakak nyium bau aneh, nggak?” tanya Tiara
sambil menutup hidungnya. Betapa kagetnya Fatimah mendengar ucapan adiknya. Dia
hanya tersenyum pilu, sambil mengangkat bahu. ‘Ya Allah, sampai kapan aku akan
bertahan dengan kondisi seperti ini?’ batin Fatimah. Beberapa hari ini Fatimah
berhasil menutupi badannya yang kurus, dengan menggunakan berlapis-lapis baju.
Namun, untuk bau ini Fatimah tidak
bisa menutupinya. Fatimah semakin merasa terpuruk dengan situasinya sekarang,
tapi dia tetap berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum di depan keluarganya,
seolah-olah penyakit itu tidak pernah ada.