Follow Us @soratemplates

6 Februari 2013

Terima Kasih Tuhan Part2


Cobaan ini terasa begitu berat. Obat-obatan yang dikonsumsinya memang berhasil menguragi rasa sakit, tapi sel kanker itu masih mendiami tubuhnya. Dokter menyarankan untuk melakukan kemoterapi dan operasi pengangkatan rahim, agar sel-sel kanker dapat di buang langsung ke sumbernya, sebelum menyebar ke bagian lain.
Setelah berpikir seminggu lamanya, Fatimah memutuskan untuk melakukan kemoterapi dan dirawat di rumah sakit. Dia memberitahu keluarganya bahwa dia mendapatkan proyek kerja lagi di luar daerah. Keluarganya kaget dengan pembicaraan Fatimah yang begitu mendadak. Anak sulung mereka yang baru saja pulang, sekarang sudah akan meninggalkan rumah ini.
“Ibu tenang saja, sekali seminggu aku akan pulang ke rumah.” Fatimah meyakinkan. “Tapi kamu baru seminggu di rumah, rasanya belum puas ibu melepaskan kerinduan ibu.”balas ibunya. ‘Ya Allah, maafkan aku karena telah berbohong kepada ibu dan keluargaku.’ Fatimah memeluk ibunya. Di hatinya Fatimah merasa takut ibunya akan mencium bau tidak sedap dari dirinya. Tiba-tiba punggungnya terasa panas dan sakit sekali, Fatimah terhuyung di pelukan ibunya dan tidak sadarkan diri.
Fatimah mendengar ada yang menangis. Saat dia membuka matanya, yang terlihat adalah wajah sedih dari keluarganya. Tangisan itu berasal dari ibunya. Kemudian Fatimah menyadari bahwa dirinya sedang terbaring di rumah sakit.
“Kenapa kamu tidak cerita kalau kamu sakit parah, Nak? Farhan menemukan sebuah kertas, hasil pemeriksaan kamu.” Ibunya menangis. Terungkap sudah semuanya. Fatimah merasa terpojok. Sedih, marah, dan juga malu  menjadi satu. Dia marah pada dirinya karena telah membuat keluarganya bersedih, dia malu akan penyakitnya. “Tinggalkan aku sendiri.”pinta Fatimah. Terlihat jelas dimata Fatimah kesedihan keluarganya, dan itu membuatnya semakin marah. “Aku mohon, tinggalkan aku sendiri.” suaranya mulai naik, emosinya tidak terkontrol.
Fatimah melihat ayahnya melirik Farhan dan juga Tiara. Mereka pun pergi meninggalkan Fatimah, namun ibunya tidak mau beranjak dari tempat duduknya. “Ibu tidak akan meninggalkan kamu dengan kondisi seperti ini.” Ibunya menatap Fatimah dengan penuh kasih sayang. “Apa yang kamu rasakan, Nak? Cerita sama ibu.” pinta ibunya yang sudah mulai menguasai diri. Fatimah melihat wajah ibunya.
“Aku takut, Bu..” Fatimah  mulai menangis terisak-isak. Ibunya kemudian memeluknya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. “Jangan takut, ada ibu.” jawab ibunya meneteskan air mata. Di pelukan ibunya Fatimah menangis, melepas semua kesedihan yang dirasakannya.
Saat hatinya mulai tenang, diapun meminta maaf kepada keluarganya karna telah berbohong. “Tidak apa-apa sayang, kami mengerti. Ibu dan ayah sudah bicara dengan dokter. Kami akan mendukung apapun bentuk pengobatan yang akan kamu jalani.”kata ibunya. Fatimah hanya diam mendengar perkataan ibunya. “Ada apa nak?” tanya ibunya lembut. “Sebenarnya aku takut untuk menjalani kemoterapi, dan operasi ini... ”Fatimah tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ibunya tahu betul apa yang ada di dalam pikiran anaknya. Menjadi seorang ibu adalah impiam setiap kaum wanita. ”Ingatlah sayang, Allah tidak akan memeberikan cobaan melebihi kemampuan umatNya. Apapun yang terjadi dalam hidup ini, tetaplah berbaik sangka kepada Allah.” Ibunya berusaha untuk memeberikan keberanian pada Fatimah.
Fatimah pun mulai menjalankan kemoterapi. Kemoterapi di lakukan selama beberapa minggu, tergantung daya tahan tubuh dan seberapa besar efek obat-obatan itu terhadap Fatimah. Dalam seminggu Fatimah menjalani 3 kali kemoterapi. Efek samping dari kemoterapi terlihat sangat jelas. Badannya kurus dan lemas, kulitnya rapuh, dan rambutnya mulai rontok. Fatimah sering mengalami pendarahan, dan terkadang mengeluarkan bau yang tidak enak.
“Sebaiknya kalian di luar saja, disini bau.” Dia merasa malu dan minder.
“Yah kakak, aku ini kan calon dokter, masa aku harus kabur dari pasien, bukan dokter donk namanya.”jawab Tiara sambil tersenyum.
“Memangnya disini bau ya, Yah? Aku lagi pilek nih, jadi gak bisa nyium apa-apa.”tanya Farhan nyengir. “Hidung ayah juga lagi bermasalah, memang disini bau ya bu?” tanya ayahnya berlagak polos. Ibunya hanya tersenyum.
Suasana di rumah sakit sering membuat Fatimah ketakutan. Hampir setiap hari dia mendengar keranda mayat didorong, di lorong-lorong rumah sakit. Itu membuatnya sangat ketakutan. Fatimah pernah bertemu dengan penderita kanker serviks lainnya selama terapi. Rata-rata mereka telah berusia empat puluh tahun ke atas, mungkin dia adalah pasien kanker serviks termuda yang ada di rumah sakit itu. Beberapa di antara mereka ada yang sudah melakukan kemoterapi selama beberapa bulan. Ada juga yang sempat berhenti melakukan kemoterapi, karena tidak kuat dengan obat-obatan yang dikonsumsi. Akibatnya sel kanker kembali menyebar, dan dia harus melakukan kemoterapi kembali.
Suatu ketika Fatimah bertemu dengan seorang ibu yang hampir seumuran dengan ibunya, namanya ibu Rosa. Dia sering berbagi cerita dengan Fatimah, dan telah menganggap Fatimah sebagai anaknya. Menjelang operasi Fatimah sangat khawatir dan ketakutan. Dia takut operasi ini akan gagal. Dia takut, terbaring di keranda mayat yang sering di dengarnya selama ini. Ibunya selalu memberikan semangat dan dorongan, namun hati kecilnya masih resah.
 “Kamu beruntung, Nak.” kata Ibu  Rosa sambil tersenyum. “Beruntung? Beruntung kenapa, Bu? Aku disini menderita karena kanker yang ada di tubuhku.”balas Fatimah. “Coba kamu perhatikan ibu, selama ini apakah kamu pernah melihat ada yang datang membesuk ibu?”tanya ibu Rosa. Fatimah kemudian terdiam, lalu menggelengkan kepalanya. “Keluarga ibu kemana?”tanya Fatimah. “Suami ibu telah meninggal, dan ibu tidak punya anak.”jawab ibu itu. “Menurut kamu, bagaimana ibu menjalani penyakit ini seorang diri, tanpa ada dukungan dari keluarga?”tanya ibu itu lagi dengan penuh kelembutan. Fatimah terhanyut dengan pertanyaan ibu itu. Dia teringat saat dia menutupi penyakitnya dari keluarganya. Masa-masa itu adalah masa yang menyedihkan baginya. Lalu, bagaimana dengan ibu ini? Menjalani kemoterapi seorang diri, Fatimah tidak bisa membayangkan betapa sedih dan menderitanya ibu ini, dan betapa beruntungnya dirinya.
Dukungan dan doa dari keluarganyalah yang membuat Fatimah kuat menjalani kemoterapi. Keluarganya sama sekali tidak pernah memperlihatkan kesedihan, yang ada hanya canda tawa dan doa yang selalu mereka ucapkan. Lagi-lagi air mata mengalir di wajahnya, tapi kali ini bukan air mata kesedihan, tapi air mata kebahagiaan. “Lalu, bagaimana ibu bertahan sampai sekarang?”tanya Fatimah. Ibu itu mengangkat jari telunjuknya ke atas. “Allah selalu bersama umatnya.”jawab ibu itu tersenyum tegar.
Kata-kata itu membuat tubuh Fatimah bergetar. Ada semangat baru dalam dirinya, hatinya merasa tenang dan damai, kesedihan dan ketakutannya seolah-olah hilang dari dalam dirinya. Fatimah ingin sekali melaksanakan sholat dan mengucap syukur kepada Allah.   Menjelang akhir kemoterapi, pendarahan yang dialaminya sering datang di waktu yang tidak terduga, membuatnya sulit untuk beribadah. Keinginan untuk melaksanakan sholat benar-benar telah mengalir di tubuhnya. Dia pun melakukan mandi wajib, dan melaksanakan sholat. Dalam sholatnya dia menangis, dan berdoa.
Ya Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Terima kasih, atas segala nikmat yang telah Engkau berikan kepada hamba. Terima kasih, Engkau telah memberikan hamba keluarga yang begitu sayang dan peduli kepada hamba. Terima kasih, karena penyakit ini telah mengajari hamba banyak hal.
Ya Allah, selama ini hamba selalu bertanya-tanya, kenapa Engkau memberikan hamba cobaan seberat ini. Namun kini hamba menjadi sadar. Betapa berartinya sebuah kehidupan.
Ya Allah, Engkau Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-hambaMu. Seandainya Engkau memanggil hamba sekarang, berikanlah kekuatan serta keikhlasan kepada keluarga hamba, sayangi dan lindungilah mereka selalu, dan panggillah aku dalam keadaan khusnul khotimah. Robbana atina fiddun ya hasanah wafil akhiroti hasanah, waqina ‘aza bannar. Amin ya robbal ‘alamin.
Operasi pengangkatan rahim, adalah hal yang sangat sensitif bagi kaum wanita. Suatu saat nanti mungkin dia tidak akan bisa melahirkan. Namun, Fatimah percaya, Allah akan memberikan yang terbaik untuknya. Operasi berjalan cukup lama. Keluarganya menanti dengan penuh harap sambil berdoa kepada Allah.
“Bagaimana keadaan anak saya dokter?”tanya ayah Fatimah. “Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar.”jawab dokter. “Alhamdulillah” semua keluarganya mengucap syukur. “Apakah anak saya sudah sembuh total dokter?”tanya ibunya. “Insya Allah, tapi kita perlu melakukan beberapa pemeriksaan lagi, untuk memastikan bahwa anak ibu telah sembuh total dari kanker.”
Fatimah tersadar, kali ini senyuman dan kebahagiaan yang terlihat di wajah keluarganya. ‘Alhamdulillah, Engkau masih memberikanku kesempatan untuk hidup’ batin Fatimah. “Bagaimana perasaanmu sayang?” tanya ibunya. “Alhamdulillah, Bu. Baik sekali.” jawab Fatimah tersenyum. Kemudian dia melihat ayahnya menangis. “Kenapa, Yah?”tanya Fatimah. “Ayah senang kamu baik-baik saja. Selama ini ayah selalu berdo’a agar kamu diberikan kekuata. Ayah benar-benar senang, dan bersyukur karena kamu bisa melewati masa-masa yang berat itu dengan baik.” jawab ayahnya. Baru kali ini Fatimah melihat ayahnya menangis, dan pancaran kebahagiaan terlihat jelas di matanya ayahnya.
Ayah adalah sosok yang selalu di kagumi Fatimah. Ayah selalu tersenyum dan bercanda, padahal ayahnya sendiri sedang gelisah mengkhawatirkannya . Sosok ayah berbeda sekali dengan ibu. Kasih sayang ibunya bisa dirasakan dan dilihatnya dengan jelas. Tapi ayahnya, sebagai seorang pemimpin dia selalu berusaha untuk terlihat kuat dan tegar, dan kali ini Fatimah bisa melihat isi hati ayahnya.
Beberapa hari setelah melakukan pemeriksaan pasca operasi. Dokter menyatakan bahwa Fatimah telah sembuh dari kankernya, dan bisa pulang ke rumah. Hari itu adalah hari kebebasan bagi Fatimah. Kesedihan dan kesakitannya selama beberapa bulan kini, telah pergi dan akan menjadi kenangan yang sangat berarti dalam hidupnya. Fatimah tidak lupa untuk berterima kasih dan berpamitan dengan ibu Rosa, yang telah memberikan pelajaran yang sangat berarti baginya.
 Saat perjalanan pulang. Tiba-tiba saja Fatimah meminta keluarganya untuk mampir ke sebuah panti asuhan. Dia bertemu dengan salah seorang penjaga panti asuhan. Lalu meminta izin untuk masuk ke sebuah ruangan, yang sangat menarik perhatiannya, baby room. Fatimah berjalan melihat sosok-sosok mungil itu dengan seksama. Lalu, jalannya terhenti. Salah satu diantara bayi-bayi itu tersenyum manis memandang wajah Fatimah. Hatinya langsung berdetak. Ada sesuatu yang dirasakannya. Sesuatu yang mungkin, hanya bisa dirasakan oleh seorang ibu. Fatimah menggendong bayi itu. “Bu, aku ingin mengadopsinya.”. Ibunya tersenyum menganggukkan kepala, begitu juga dengan keluarga nya yang lain.
Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar