Cobaan ini terasa begitu berat.
Obat-obatan yang dikonsumsinya memang berhasil menguragi rasa sakit, tapi sel
kanker itu masih mendiami tubuhnya. Dokter menyarankan untuk melakukan
kemoterapi dan operasi pengangkatan rahim, agar sel-sel kanker dapat di buang
langsung ke sumbernya, sebelum menyebar ke bagian lain.
Setelah berpikir seminggu lamanya,
Fatimah memutuskan untuk melakukan kemoterapi dan dirawat di rumah sakit. Dia
memberitahu keluarganya bahwa dia mendapatkan proyek kerja lagi di luar daerah.
Keluarganya kaget dengan pembicaraan Fatimah yang begitu mendadak. Anak sulung
mereka yang baru saja pulang, sekarang sudah akan meninggalkan rumah ini.
“Ibu tenang saja, sekali seminggu aku
akan pulang ke rumah.” Fatimah meyakinkan. “Tapi kamu baru seminggu di rumah,
rasanya belum puas ibu melepaskan kerinduan ibu.”balas ibunya. ‘Ya Allah,
maafkan aku karena telah berbohong kepada ibu dan keluargaku.’ Fatimah memeluk
ibunya. Di hatinya Fatimah merasa takut ibunya akan mencium bau tidak sedap
dari dirinya. Tiba-tiba punggungnya terasa panas dan sakit sekali, Fatimah
terhuyung di pelukan ibunya dan tidak sadarkan diri.
Fatimah mendengar ada yang menangis. Saat
dia membuka matanya, yang terlihat adalah wajah sedih dari keluarganya.
Tangisan itu berasal dari ibunya. Kemudian Fatimah menyadari bahwa dirinya
sedang terbaring di rumah sakit.
“Kenapa kamu tidak cerita kalau kamu
sakit parah, Nak? Farhan menemukan sebuah kertas, hasil pemeriksaan kamu.” Ibunya
menangis. Terungkap sudah semuanya. Fatimah merasa terpojok. Sedih, marah, dan
juga malu menjadi satu. Dia marah pada
dirinya karena telah membuat keluarganya bersedih, dia malu akan penyakitnya. “Tinggalkan
aku sendiri.”pinta Fatimah. Terlihat jelas dimata Fatimah kesedihan
keluarganya, dan itu membuatnya semakin marah. “Aku mohon, tinggalkan aku
sendiri.” suaranya mulai naik, emosinya tidak terkontrol.
Fatimah melihat ayahnya melirik Farhan
dan juga Tiara. Mereka pun pergi meninggalkan Fatimah, namun ibunya tidak mau
beranjak dari tempat duduknya. “Ibu tidak akan meninggalkan kamu dengan kondisi
seperti ini.” Ibunya menatap Fatimah dengan penuh kasih sayang. “Apa yang kamu
rasakan, Nak? Cerita sama ibu.” pinta ibunya yang sudah mulai menguasai diri.
Fatimah melihat wajah ibunya.
“Aku takut, Bu..” Fatimah mulai menangis terisak-isak. Ibunya kemudian
memeluknya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. “Jangan takut, ada ibu.” jawab
ibunya meneteskan air mata. Di pelukan ibunya Fatimah menangis, melepas semua
kesedihan yang dirasakannya.
Saat hatinya mulai tenang, diapun
meminta maaf kepada keluarganya karna telah berbohong. “Tidak apa-apa sayang,
kami mengerti. Ibu dan ayah sudah bicara dengan dokter. Kami akan mendukung
apapun bentuk pengobatan yang akan kamu jalani.”kata ibunya. Fatimah hanya diam
mendengar perkataan ibunya. “Ada apa nak?” tanya ibunya lembut. “Sebenarnya aku
takut untuk menjalani kemoterapi, dan operasi ini... ”Fatimah tidak sanggup
melanjutkan kata-katanya. Ibunya tahu betul apa yang ada di dalam pikiran
anaknya. Menjadi seorang ibu adalah impiam setiap kaum wanita. ”Ingatlah
sayang, Allah tidak akan memeberikan cobaan melebihi kemampuan umatNya. Apapun yang
terjadi dalam hidup ini, tetaplah berbaik sangka kepada Allah.” Ibunya berusaha
untuk memeberikan keberanian pada Fatimah.
Fatimah pun mulai menjalankan
kemoterapi. Kemoterapi di lakukan selama beberapa minggu, tergantung daya tahan
tubuh dan seberapa besar efek obat-obatan itu terhadap Fatimah. Dalam seminggu
Fatimah menjalani 3 kali kemoterapi. Efek samping dari kemoterapi terlihat
sangat jelas. Badannya kurus dan lemas, kulitnya rapuh, dan rambutnya mulai
rontok. Fatimah sering mengalami pendarahan, dan terkadang mengeluarkan bau
yang tidak enak.
“Sebaiknya kalian di luar saja, disini
bau.” Dia merasa malu dan minder.
“Yah kakak, aku ini kan calon dokter,
masa aku harus kabur dari pasien, bukan dokter donk namanya.”jawab Tiara sambil
tersenyum.
“Memangnya disini bau ya, Yah? Aku lagi
pilek nih, jadi gak bisa nyium
apa-apa.”tanya Farhan nyengir. “Hidung
ayah juga lagi bermasalah, memang disini bau ya bu?” tanya ayahnya berlagak
polos. Ibunya hanya tersenyum.
Suasana di rumah sakit sering membuat
Fatimah ketakutan. Hampir setiap hari dia mendengar keranda mayat didorong, di
lorong-lorong rumah sakit. Itu membuatnya sangat ketakutan. Fatimah pernah
bertemu dengan penderita kanker serviks lainnya selama terapi. Rata-rata mereka
telah berusia empat puluh tahun ke atas, mungkin dia adalah pasien kanker
serviks termuda yang ada di rumah sakit itu. Beberapa di antara mereka ada yang
sudah melakukan kemoterapi selama beberapa bulan. Ada juga yang sempat berhenti
melakukan kemoterapi, karena tidak kuat dengan obat-obatan yang dikonsumsi. Akibatnya
sel kanker kembali menyebar, dan dia harus melakukan kemoterapi kembali.
Suatu ketika Fatimah bertemu dengan
seorang ibu yang hampir seumuran dengan ibunya, namanya ibu Rosa. Dia sering
berbagi cerita dengan Fatimah, dan telah menganggap Fatimah sebagai anaknya. Menjelang
operasi Fatimah sangat khawatir dan ketakutan. Dia takut operasi ini akan gagal.
Dia takut, terbaring di keranda mayat yang sering di dengarnya selama ini. Ibunya
selalu memberikan semangat dan dorongan, namun hati kecilnya masih resah.
“Kamu
beruntung, Nak.” kata Ibu Rosa sambil
tersenyum. “Beruntung? Beruntung kenapa, Bu? Aku disini menderita karena kanker
yang ada di tubuhku.”balas Fatimah. “Coba kamu perhatikan ibu, selama ini
apakah kamu pernah melihat ada yang datang membesuk ibu?”tanya ibu Rosa.
Fatimah kemudian terdiam, lalu menggelengkan kepalanya. “Keluarga ibu
kemana?”tanya Fatimah. “Suami ibu telah meninggal, dan ibu tidak punya
anak.”jawab ibu itu. “Menurut kamu, bagaimana ibu menjalani penyakit ini
seorang diri, tanpa ada dukungan dari keluarga?”tanya ibu itu lagi dengan penuh
kelembutan. Fatimah terhanyut dengan pertanyaan ibu itu. Dia teringat saat dia
menutupi penyakitnya dari keluarganya. Masa-masa itu adalah masa yang
menyedihkan baginya. Lalu, bagaimana dengan ibu ini? Menjalani kemoterapi
seorang diri, Fatimah tidak bisa membayangkan betapa sedih dan menderitanya ibu
ini, dan betapa beruntungnya dirinya.
Dukungan dan doa dari keluarganyalah yang
membuat Fatimah kuat menjalani kemoterapi. Keluarganya sama sekali tidak pernah
memperlihatkan kesedihan, yang ada hanya canda tawa dan doa yang selalu mereka
ucapkan. Lagi-lagi air mata mengalir di wajahnya, tapi kali ini bukan air mata
kesedihan, tapi air mata kebahagiaan. “Lalu, bagaimana ibu bertahan sampai
sekarang?”tanya Fatimah. Ibu itu mengangkat jari telunjuknya ke atas. “Allah
selalu bersama umatnya.”jawab ibu itu tersenyum tegar.
Kata-kata itu membuat tubuh Fatimah
bergetar. Ada semangat baru dalam dirinya, hatinya merasa tenang dan damai,
kesedihan dan ketakutannya seolah-olah hilang dari dalam dirinya. Fatimah ingin
sekali melaksanakan sholat dan mengucap syukur kepada Allah. Menjelang akhir kemoterapi, pendarahan yang
dialaminya sering datang di waktu yang tidak terduga, membuatnya sulit untuk
beribadah. Keinginan untuk melaksanakan sholat benar-benar telah mengalir di
tubuhnya. Dia pun melakukan mandi wajib, dan melaksanakan sholat. Dalam
sholatnya dia menangis, dan berdoa.
“Ya
Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Terima kasih, atas segala nikmat
yang telah Engkau berikan kepada hamba. Terima kasih, Engkau telah memberikan
hamba keluarga yang begitu sayang dan peduli kepada hamba. Terima kasih, karena
penyakit ini telah mengajari hamba banyak hal.
Ya
Allah, selama ini hamba selalu bertanya-tanya, kenapa Engkau memberikan hamba
cobaan seberat ini. Namun kini hamba menjadi sadar. Betapa berartinya sebuah
kehidupan.
Ya
Allah, Engkau Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-hambaMu. Seandainya Engkau
memanggil hamba sekarang, berikanlah kekuatan serta keikhlasan kepada keluarga
hamba, sayangi dan lindungilah mereka selalu, dan panggillah aku dalam keadaan khusnul
khotimah. Robbana atina fiddun ya hasanah
wafil akhiroti hasanah, waqina ‘aza bannar. Amin ya robbal ‘alamin.”
Operasi pengangkatan rahim, adalah hal
yang sangat sensitif bagi kaum wanita. Suatu saat nanti mungkin dia tidak akan
bisa melahirkan. Namun, Fatimah percaya, Allah akan memberikan yang terbaik
untuknya. Operasi berjalan cukup lama. Keluarganya menanti dengan penuh harap
sambil berdoa kepada Allah.
“Bagaimana keadaan anak saya
dokter?”tanya ayah Fatimah. “Alhamdulillah,
operasinya berjalan dengan lancar.”jawab dokter. “Alhamdulillah” semua keluarganya mengucap syukur. “Apakah anak saya
sudah sembuh total dokter?”tanya ibunya. “Insya Allah, tapi kita perlu
melakukan beberapa pemeriksaan lagi, untuk memastikan bahwa anak ibu telah
sembuh total dari kanker.”
Fatimah tersadar, kali ini senyuman dan
kebahagiaan yang terlihat di wajah keluarganya. ‘Alhamdulillah, Engkau masih
memberikanku kesempatan untuk hidup’ batin Fatimah. “Bagaimana perasaanmu
sayang?” tanya ibunya. “Alhamdulillah, Bu. Baik sekali.” jawab Fatimah
tersenyum. Kemudian dia melihat ayahnya menangis. “Kenapa, Yah?”tanya Fatimah.
“Ayah senang kamu baik-baik saja. Selama ini ayah selalu berdo’a agar kamu
diberikan kekuata. Ayah benar-benar senang, dan bersyukur karena kamu bisa
melewati masa-masa yang berat itu dengan baik.” jawab ayahnya. Baru kali ini
Fatimah melihat ayahnya menangis, dan pancaran kebahagiaan terlihat jelas di
matanya ayahnya.
Ayah adalah sosok yang selalu di kagumi
Fatimah. Ayah selalu tersenyum dan bercanda, padahal ayahnya sendiri sedang gelisah
mengkhawatirkannya . Sosok ayah berbeda sekali dengan ibu. Kasih sayang ibunya
bisa dirasakan dan dilihatnya dengan jelas. Tapi ayahnya, sebagai seorang
pemimpin dia selalu berusaha untuk terlihat kuat dan tegar, dan kali ini
Fatimah bisa melihat isi hati ayahnya.
Beberapa hari setelah melakukan
pemeriksaan pasca operasi. Dokter menyatakan bahwa Fatimah telah sembuh dari
kankernya, dan bisa pulang ke rumah. Hari itu adalah hari kebebasan bagi
Fatimah. Kesedihan dan kesakitannya selama beberapa bulan kini, telah pergi dan
akan menjadi kenangan yang sangat berarti dalam hidupnya. Fatimah tidak lupa
untuk berterima kasih dan berpamitan dengan ibu Rosa, yang telah memberikan
pelajaran yang sangat berarti baginya.
Saat
perjalanan pulang. Tiba-tiba saja Fatimah meminta keluarganya untuk mampir ke
sebuah panti asuhan. Dia bertemu dengan salah seorang penjaga panti asuhan. Lalu
meminta izin untuk masuk ke sebuah ruangan, yang sangat menarik perhatiannya, baby room. Fatimah berjalan melihat
sosok-sosok mungil itu dengan seksama. Lalu, jalannya terhenti. Salah satu
diantara bayi-bayi itu tersenyum manis memandang wajah Fatimah. Hatinya
langsung berdetak. Ada sesuatu yang dirasakannya. Sesuatu yang mungkin, hanya
bisa dirasakan oleh seorang ibu. Fatimah menggendong bayi itu. “Bu, aku ingin
mengadopsinya.”. Ibunya tersenyum menganggukkan kepala, begitu juga dengan
keluarga nya yang lain.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar