Follow Us @soratemplates

21 Desember 2013

Lorong Hitam

8:36 AM 0 Comments

Hari ini emak berangkat pagi sekali, bahkan sebelum shubuh. Tongkat panjang dan gendongan pun sudah siap di tangan dan pundaknya, dengan mengucap salam emak pergi meninggalkan kami. Aku langsung menutup pintu gubuk ini agar si adik tidak kedinginan. Ternyata si adik tertidur pulas, angin dingin yang menerpanya sama sekali tidak membuatnya terusik.

“Aldo...!!”

          Tiba-tiba saja Ale berada di depan gubukku. Tumben sekali dia datang sepagi ini. 

“Iya kenapa Le?” tanyaku penasaran.

“kenapa? Kau lupa ya, katanya kau ingin bertemu dengan Ramdan, ayo kita jalan sekarang.”

“Apa harus sepagi ini?”

“Ya harus, kau ingin dapat uang tidak?”balasnya.

          Aku melihat Rara yang mulai terusik dari tidur lelapnya. Suara serak dan besar Ale membuatnya terbangun. “Hada hapa sih kak.. haku ..sih ngantuk”ucap adiknya dengan mulut yang terbuka lebar. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan si adik sepagi ini. Namun apa boleh buat.

“Ra, kakak mau pergi ke Kota sama Ale, kau tidak apa-apa kalau kakak tinggal sendiri?”

“Kakak ngapain ke Kota, tumben.. ? ” tanya Rara yang sudah mulai sadar.

“Kakak ada urusan. Sebentar lagi shubuh, setelah sholat kau langsung berangkat sekolah saja.”

Tanpa banyak pertanyaan dari Rara, ia pun melangkah menuju kamar mandi. Si adik kecilku ini memang anak yang penurut. Akupun segera bersiap-siap dan pergi meninggalkan gubuk reyot itu. Di shubuh yang sejuk ini, seharusnya kami menghirup udara segar, namun aroma dari tumpukan sampah ini ternyata tidak mau kalah dari aroma pagi. Aku berjalan mengikuti setiap langkah Ale, melewati tumpukan sampah manusia kota yang taunya hanya membuang sampah seenaknya saja. Tak lama kemudian aku melihat seorang ibu-ibu dengan wajah yang sudah kriput, matanya sipit dengan warna hitam yang mengelilinginya. Tangan kurusnya mengais lembaran-demi lembaran plastik, diikuti dengan matanya yang tajam bak mencari sebuah permata. Aku jadi teringat akan emak yang setiap harinya melakukan hal sama dengan ibu itu, bedanya emak tidak mengais-ngais di tumpukan sampah ini, tapi di gedung-gedung mewah dan pabrik bangunan. Sering kali emak menemukan sisa-sia makanan yang masih utuh di sana. Bahkan emak pernah menemukan sebuah tas, yang sekarang dipakai Rara.

Tekadku untuk mendapatkan uang yang banyak semakin membuncah. Kupercepat langkah kakiku yang kering kerontang tidak berdaging. “Aku sudah siapkan ini.” Ale memberiku sebuah alat musik yang terbuat dari kayu dan tutup botol bekas. Setelah berjalan dua jam lebih, kami akhirnya sampai di jalanan kota. Orang-orang mulai berhamburan ke jalanan. Sedan-sedan mewah berpacuan satu sama lain. Ale mengajakku naik ke atas angkot, dan seperti biasa kami mulai menyanyikan senandung lagu kebangsaan.

...Hidup di jalanan bukan untuk pelarian
jalanan.. bukan sandaran.. jalanan bukan pelarian..
Jalanan .. bukan khayalan ...

Seorang anak sekolah terlihat duduk di pojokan angkot sambil membaca buku yang dipegangnya. Enak sekali dia bisa belajar di sekolah menggunakan pakain seragam dan punya banyak teman untuk diajak bermain. Kemudian di depannya terlihat seorang bapak-bapak dengan gaya duduknya bagaikan seorang raja, dia terlihat sibuk memainkan jemarinya dengan sebuah kotak yang disebut orang-orang dengan tablet. Benda apa itu? Katanya itu adalah sebuah benda yang jauh lebih canggih dari sebuah handphone. Ingin sekali aku mencoba memegangnya. Namun impian itu kubuang jauh-jauh. Handphone saja belum pernah megang, apalagi yang lebih canggih dari itu? Pikirku. Penumpang yang lain terlihat duduk dengan tenang, salah seorang diantara mereka ada yang sibuk melihat jam tangannya, keningnya berkerut dan kakinya tak henti-hentinya bergetar. Aku tak tahu apakah mereka menikmati atau mengumpat kehadiran kami diantara mereka. Berbagai raut ekspresi yang aneh dan jijik sudah menjadi hal yang biasa bagi kami.

Receh demi recehpun kami terima. Si supir angkot menurunkan kami di sebuah perempatan jalan.

“Masih jauh le?”tanyaku penasaran.

“tidak jauh dari sini, kau ikuti saja aku.” Balasnya.

Kamipun sampai di sebuah perkampungan rumah susun. Ternyata penghuni perumahan itu masih golonganku, warga miskin yang terlantar. Setelah melewati beberapa gang kecil, kamipun sampai di sebuah lorong hitam dan gelap yang jauh dari mata warga. Tiba-tiba Ale berhenti, dia membalikkan badan dan melihatku tanpa ekspresi.

“Apa kau yakin dengan keputusan kau ini?”

“Tentu saja.” Jawabku menghela nafas, berulang kali dia menanyakan hal ini padaku.

“kau siap dengan konsekuensinya?”

“Aku siap.” Jawabku mantap.

Raut kepasrahan terlihat di wajahnya. Aku tahu, dia berharap aku akan mengurungkan niatku, tapi aku sudah lelah dengan kemiskinan ini, aku ingin bebas. Tak lama kemudian aku melihat sosok lelaki dengan wajah sangar memandang kami berdua, aku yakin inilah Ramdan si anak gangster yang katanya bisa membantu permasalahnku. Mulutnya menghembuskan asap rokok, sorot matanya tajam, raut mukanya sangar, dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi dengan tato. Aku tahu keputusanku untuk bergabung dengan gangster ini adalah hal yang sangat berisiko. Tapi melihat kondisi emak yang sudah tua, dan si adik yang butuh biaya untuk sekolah, aku tidak punya pilihan lain. Aku sebagai anak sulung harus mampu membiayai sekolah adikku, jangan sampai dia mengalami nasib yang sama denganku.

“ini orangnya?”tanya lelaki berwajah sangar itu.

“iya bang, namanya Aldo.”

“Kurus kerontang begini, bisa apa kau?” tanyanya kasar, membuat nyaliku sedikit ciut.

“Saya bisa jadi pembantu bang, disuruh beli ini itu juga saya mau, asal dapat uang.”jawabku berusaha mantap.

“jadi pembantu? Kenapa harus kesini kalau hanya sekedar ingin jadi pembantu? Bisa berkelahi TIDAK ?” tanyanya semakin keras. 

Akupun terdiam, nyaliku semakin menciut, aku mana bisa berkelahi. Tiba-tiba sebuah hantaman yang amat kuat menerpa perutku. Rasanya perih sekali, lebih perih daripada menahan lapar berhari-hari. Aku mulai terkulai dan hampir jatuh ke lantai, saat serangan kedua menghantam hidungku. Dengan mata sayu aku melihat Ale berdiam diri, aku tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Darah mulai mengalir dari hidungku, aku berusaha melawan. Serangan demi serangan menghampiriku. Tapi aku tidak mau menyerah, dengan badan terhuyung aku terus berusaha melawan, hingga akhirnya aku jatuh terkulai ke tanah dan tidak sadarkan diri.

***
“Aldo.. bangun nak, Aldo..” suara itu sangat familiar, dan membuatku syok. Aku membuka mataku dan melihat wajah keriput bercahaya itu tepat dihadapanku. Matanya bengkak dan merah, kekhwatiran terpancar jelas di raut wajahnya. Aku bingung, Ale duduk di sampingku. Mataku mencari-cari ke sekeliling, namun aku tidak melihat sosok Ramdan.

“emak.. kenapa emak ada disini?” tanyaku setelah kesadaran memenuhi pikiranku.
Emak kemudian memukulku sangat keras.

“Auu...” Rasa ngilu pukulan emak ini mungkin tidak sesakit yang dirasakannya. Wajahnya terlihat kesal dan sedih. “Apa yang ada di otak kau ini hah? Apa menurut kau, bergabung dengan gangster itu akan membuat emak senang?”

Akupun bingung, ku tatap Ale dengan marah. Beraninya dia memberitahu emak. Ale menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Aku tidak tahu sekali, tiba-tiba saja ibu kau ada di sini.”Ale membela diri.

“Maafkan aku bu.”hanya itu yang bisa kuucapkan. Air mata mulai berjatuhan dari matanya, dia memukulku semakin keras. Setiap pukulan yang diberikannya bisa kurasakan sebagai lambang kesedihannya.

“Jangan pernah sekalipun kau berfikir untuk melakukannya lagi...” Emak kemudian mengatur nafasnya yang tidak karuan “..Boleh jadi kita manusia termiskin di dunia ini, tapi jangan sampai kita miskin harga diri dan miskin akhlak. Ingat itu baik-baik” lanjutnya.

Kulihat raut wajah itu dengan seksama, ketenangan dan kedamaian yang selama ini kulihat hilang dari wajahnya, yang ada hanya kesedihan dan kekecewaan. Sungguh teganya aku membuat wajah ini bersedih, kemudian akupun memeluknya, aku tidak ingin lagi membuat harta berharga ku ini bersedih. Emak mengelus kepalaku dengan lembut, semakin membuatku merasa bersalah.

“Janji nak sama emak. Jangan sampai kau kehilangan kekayaan hati kau. Ingat itu.”ucap emak penuh kelembutan dan kehangatan.

“Iya mak, aku janji.. apapun yang terjadi, aku akan berusaha keras untuk menghidupi keluarga ini, tanpa kehilangan kekayaan hatiku.”
- dreanimeir -

18 Desember 2013

Alhamdulillah, Musibah itu Menimpa Keluargaku

2:47 AM 1 Comments
Cuaca di negeri Minang saat itu begitu tenang dan damai. Sesekali aku duduk di dekat jendela, hanya sekedar untuk menikmati angin sepoi-sepoi dan memandangi perkebunan di depan rumahku, berbagai jenis bunga bermekaran menghiasi halaman rumah. Aku adalah anak bungsu dengan dua orang kakak laki-laki dan dua orang kakak perempuan. Kakak tertuaku sedang merantau di tanah jawa untuk menuntut ilmu. Saat itu, di rumah hanya ada aku dan kakak perempuanku, Suci. Kedua orangtuaku sedang bertani begitu juga dengan nenekku, sedangkan kedua kakakku yang lain belum pulang sekolah.

Cuaca cerah di sore hari itu tiba-tiba berubah menjadi gelap. Hujan berjatuhan ke permukaan bumi, dan cuaca mulai tidak bersahabat. Kak Suci menyuruhku untuk tidak berdiri di dekat jendela rumah, diapun menutup pintu jendela rapat-rapat. Gemuruh angin mulai terdengar, hujan semakin lebat, dan petir mulai bersahut-sahutan. Kami dua gadis kecil hanya bisa mengintip melalui jendela rumah, memperhatikan cuaca yang semakin memburuk. Tiba-tiba pohon pepaya di depan rumah kami tumbang mengenai salah satu rumah sewaan milik keluargaku. Aku dan juga kakakku mulai ketakutan. Tetanggaku yang ditimpa tumbangan pohon tadi bersorak lewat jendela, meminta kami untuk tidak panik dan segera berlari ke rumah mereka.

Kepanikan sempat terjadi saat kakakku mencari kunci rumah. Akhirnya kamipun meninggalkan rumah gadang itu dan masuk kerumah sewaan tetangga. Untungnya rumah kami dan rumah sewaan itu memiliki pintu yang terhubung dari dalam. Setelah badai hujan berhenti seorang tetangga teman baik ibuku, Bu Teti, datang untuk menjemput kami. Dia meminta kami untuk menunggu di rumahnya. Aku dan kakakku hanya mengikuti, karena kami sudah mengenalnya dengan baik. Begitu kami memasuki rumahnya, banyak pecahan kaca bertebaran di rumah. Ternyata atap rumah kami juga tumbang dan menimpa jendela rumahnya. Aku yang waktu itu baru beurumur 6 tahun merasa takut seandainya kami tidak mempunyai rumah lagi. “Nanti kami tinggal dimana?” aku bertanya pada kakakku.

“Tentu saja di rumah keluarga. Kamu masih punya rumah.” jawab Bu Teti menghapus kekhawatiranku. Aku masih punya rumah keluarga. Rumah besar milik keluargaku yang dihuni oleh lebih dari satu kepala keluarga, di Minangkabau biasanya di kenal dengan rumah basamo, sebuah rumah yang diwarisi secara turun-temurun untuk anak cucu. Tidak lama kemudian semua keluargaku, nenek, kedua orangtuaku, dan juga kakak-kakakku pulang ke rumah. Mereka melihat atap rumah mereka sudah hancur parah, tidak bisa untuk diperbaiki lagi. Rumah gadangku sudah tidak bisa ditempati lagi. Aku sekeluarga akhirnya pindah ke rumah 'basamo', yang berlokasi tidak jauh dari rumahku.

Saat itu hidup keluargaku tidak berkecukupan. Ibuku hanya seorang pegawai negri biasa, sepulang kerja dia langsung bertani ke sawah. Ayahku sering berjualan pakaian ke luar daerah selama beberapa minggu, dan setiap dia balik ke rumah, dia bekerja ke sawah dan menjual hasil panen ke pasar bersama ibuku. Membiayai sekolah kelima anak mereka membuat mereka bekerja banting tulang dari pagi hingga sore. Nenekku memberikan solusi untuk keluarga kami, agar membangun sebuah ruko di tanah warisan miliknya.

Setelah beberapa bulan ruko itupun selesai dibangun. Awalnya ruko itu disewakan untuk orang lain. Namun karena tidak ada kabar dari calon penyewa, akhirnya kakak perempuanku yang tertua berinisiatif untuk berjualan di ruko itu. Saat itu dia sedang liburan panjang, dan dia sempat berfikir untuk tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, demi membantu kedua orangtuaku. Teman sekantor ibuku menyarankannya untuk berjualan makanan khas Minang, sanjai, makanan khas Minang yang terbuat dari ubi. Dia mengenalkan kami kepada beberapa produsen keripik, selain itu dia juga membantu keluargaku caranya berdagang.


       Berjualan keripik sanjai, ternyata membuahkan hasil. Karena lokasinya berada di pinggir jalan, banyak mobil pribadi dan mobil travelan yang bersinggahan untuk membeli makanan khas Minang ini. Toko kamipun mulai dikenal banyak orang dan banyak yang telah menjadi pelanggan setia kami. Dari situlah terbukanya jalan bagi keluargaku untuk membiayai sekolah kami. Awalnya, beberapa tetanggaku mengira bahwa kakak perempuanku yang paling tua, tidak akan bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Mereka tidak yakin, anak seorang pedagang keripik mampu membiayai sekolah sampai ke perguruan tinggi.  Namun, Allah berkata lain, justru kelima anak pedagang keripik ini mampu sekolah sampai ke perguruan tinggi berkat kerja keras, usaha dan juga do'a. Meskipun aku tidak bisa lagi menikmati indahnya tinggal di bangunan khas rumah gadang, aku bersyukur karena Allah menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik lagi dan jauh lebih berharga melalui musibah itu. Ada hikmah dibalik setiap musibah, dan lewat musibah itu datang jalan baru menuju yang lebih baik lagi.

- dreanimeir -

Pertemuan Tak Terduga di Depan Toko

2:37 AM 0 Comments
Derasnya hujan dan kencangnya hembusan angin membuat Fatin gemetar kedinginan. Dia memeriksa tas ranselnya berulang kali, tapi tetap saja ia tidak bisa menemukannya. “Mana payungku?”batinnya. Cuaca di sore hari itu sangat buruk, Fatin terjebak di depan sebuah toko seorang diri. Tiba-tiba ia mendengar suara yang sudah tidak asing lagi ditelinganya.

“Fatin, kamu kenapa bisa sampai disini? Kamu sendirian?” tanya Rian kaget, penuh kekhawatiran. “Untunglah kamu ada disini. Tadi akupergi belanja, dan ternyata payungku ketinggalan.”balas Fatin. Rian saat itu juga langsung mengajak Fatin meninggalkan toko tersebut.

“Kita mau kemana?”

“Aku akan mengantarmu pulang, naiklah!”

          Sebuah mobil sedan terparkir di depan toko itu. Rian membukakan pintu mobil untuk Fatin, dan mereka pun meninggalkan toko itu. Fatin dan Rian hanya terdiam selama perjalanan, cuaca dingin saat itu membuat bibir mereka membeku. Mereka berdua hanyut dalam kenangan masa lalu.

“Kamu darimana Rian?” tanya Fatin memecah kesunyian.

“Dari kampus, tanpa sengaja aku melihatmu berdiri sendirian di depan toko itu.”

“Apa kamu sehat?”Fatin kembali bertanya.

“Iya.. aku.. sehat. Bagaimana denganmu?”

          Fatin kemudian tersenyum dengan manisnya. “Sangat baik, karena aku bisa bertemu lagi denganmu, walaupun hanya suaramu yang bisa kudengar.” Balas Fatin.

“Apa kau tidak membenciku?” tanya Rian dengan suara bergetar.

“Tidak.”jawabnya lembut.

“Gara-gara aku, kamu menjadi buta seperti ini, bahkan.. kamupun putus sekolah. Kamu pantas membenciku.” Penyesalan yang amat dalam terdengar jelas dari suaranya.

“Aku tidak pernah membencimu, semua itu hanya musibah. Rian.. jangan pernah salahkan dirimu atas kecelakaan itu. Aku mungkin tidak akan bisa melihat lagi indahnya dunia, tapi aku tidak ingin kehilangan seorang sahabat sebaikmu.” Tanpa sadar airmata bercucuran dari kedua bola matanya. Tabrakan mobil dua tahun lalu itu, membuat kedua sahabat ini menjadi semakin jauh, bahkan tidak ada komunikasi lagi diantara mereka. Rian yang saat itu menyetir mobil hanya mengalami luka ringan, namun Fatin harus kehilangan penglihatannya, Rian merasa posisi mereka tertukar,dialah yang seharusnya kehilangan penglihatannya. Mereka pun akhirnya sampai di sebuah rumah di pinggiran kota.

“Fatin...”

“Ya...?”

“Mmm... mulai besok.. aku akan sering mengunjungi dan mengantarkanmu kemanapun kamu pergi, apa kamu memberiku izin?” tanya Rian. 

“Tentu saja.” Balas Fatin dengan senyum manisnya.

          Kesedihan dan kesepian serta perasaan bersalah selama dua tahun ini, kini semuanya berakhir dengan sebuah pertemuan yang tak terduga, dan komunikasi yang seharusnya mereka lakukan dari dulu.


- dreanimeir -

8 Desember 2013

Arti Sebuah Persahabatan

6:35 AM 0 Comments

       Alarm itu berdering mengganggu tidurku yang nyenyak. Aku bangun dengan mata yang masih sayu. Kupaksa kakiku melangkah menuju kamar mandi, dan bersiap-siap untuk berangkat. Ya, hari ini aku akan mengikuti kegiatan ‘Seminar Jilbab Be a Diamond’ di kampus Universitas Gunadarma. Aku bertekad dalam hatiku untuk membantu kegiatan itu sebisa mungkin -salah satu kegiatan UKM Fajrul Islam- dimana Manda (sahabatku) menjadi ketua kegiatan tersebut. 


Beberapa hari yang lalu, aku hanya bisa mendengarkan keluh kesah dan susahnya ia untuk membuat kegiatan seminar ini berjalan dengan lancar. Aku memang bukan panitia resmi kegiatan ini, tapi aku bagian dari mereka. Aku tahu betapa sulit dan lelahnya ia beberapa hari belakangan ini. Ia sering mengadu, berkeluh kesah dan bercerita kepadaku. Namun, aku hanya bisa mendengarkan, aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berdoa agar ia diberi ketenangan dan kekuatan untuk menghadapi persoalannya. Jujur, aku sedih melihatnya yang sibuk bolak-balik kesana kemari, mengurus banyak kegiatan, BEM, acara seminar, UTS, di tambah lagi dia juga sibuk mempelajari jaringan, dunia yang sedang ia tekuni. Berulang kali aku menyuruhnya untuk istirahat sejenak, tapi itulah Manda, terus semangat dan melangkah maju menghadapi setiap masalah yang ada dihadapannya. 


          Saat itu di pagi hari, aku menerima pesan dari sahabatku Ella. Mataku masih sayu untuk membaca pesan singkat darinya. Dia memintaku untuk memilih antara hari jumat dan hari sabtu untuk ketemuan. Ya, aku dan sahabat-sahabat ku saat kelas satu memang sudah sangat jarang sekali bertemu, semenjak kelas kami dipisah. Begitu sulit bagi kami untuk mencari moment yang tepat untuk berkumpul kembali. Selalu saja ada halangan di antara kami untuk bertemu, dan sering kali waktu pertemuan itu dibatalkan – kami sering kecewa dibuatnya. Kuketik keyboard yang ada di handphoneku.


“Sabtu la..”


Kemudian aku kirim pesan singkat itu. Kalau hari jum’at aku ada dua syuro (rapat), jadi kuputuskan untuk memilih hari Sabtu. Selang beberapa jam kemudian...

“Astaghfirullah..” Hari Sabtu tepat tanggal 7 Desember Acara Seminar Jilbab. Bagaimana mungkin aku bisa lupa. Bagaimana ini ????. Kebodohanku, terkadang sering kali membuat teman-temanku kecewa. Jantungku berdegup kencang, aku membuat keputusan yang salah. Seandainya aku batalkan kegiatanku dengan sahabatku, mereka pasti kecewa, karena baru saja beberapa hari yang lalu mereka kecewa karena acara pertemuan kami dibatalkan. Tapi aku juga tidak mungkin absent di acara seminar ini. Tak lama kemudian Manda memanggilku. Dia memintaku untuk menemaninya duduk di kursi depan saat acara seminar berlangsung. 


. . .

          Aku terdiam. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Jelang beberapa detik kemudian, Manda menyadari raut wajahku yang aneh. 

Kenapa mi?”


aa.. anuu.. aa..” aku kikuk. Bagaimana aku harus menjelaskannya. Namun, Manda menuntut jawaban dariku. Sungguh teganya aku mengecewakannya. Otakku berputar kebingungan untuk menjelaskannya. Perlahan, dengan gagap kucoba untuk menjelaskan apa yang terjadi. Kulihat raut wajahnya yang kecewa. Oh.. Tuhan. Aku hanya bisa menambah bebannya saja. Walaupun ia tidak menunjukkan kekecewaannya secara blak-blakan, tapi aku tahu ia sangat kecewa. Manda masih tetap berusaha tersenyum dan mengatakan ia akan mencari orang lain untuk menggantikanku. ‘Apa aku batalkan saja untuk bertemu dengan sahabatku?’. Saat itu juga datang sms dari Ella..


Sabtu jam stgh 9 ya.. tolong jangan dicancel..’


Aku marah kepada diriku sendiri. Aku kecewa karena belum bisa menjadi sahabat yang baik buat Manda dan, sahabat-sahabatku yang sudah lebih dulu kukenal sebelum mengenal Manda, sahabat-sahabat yang sangat mengerti diriku apa adanya, mereka yang ku sayang Ega, Ela, Fitri dan Imah. Singkat cerita aku curhat kepada salah seorang temanku di FARIS. Dia memberikanku solusi untuk datang di acara seminar sampai zuhur, kemudian barulah aku menyusul untuk bertemu dengan sahabatku yang lain. Saat acara gladiresik kuputuskan untuk menjadi panitia registrasi pendaftaran acara seminar.

* * * * *

          Aku bertekat untuk membantu sebisaku, aku ingin mengurangi beban sahabatku dan teman-temanku yang sudah berjuang untuk acara ini. Sebelum kegiatan seminar ini dimulai, para panitia diminta untuk sholat dhuha terlebih dahulu, untuk meluruskan niat kami, mendoakan saudari-saudari kami yang belum berhijab untuk tergerak hatinya menggunakan hijab, dan yang sudah berhijab tetap istiqomah dengan hijabnya. Suatu acara seminar yang menurutku itu merupakan suatu misi yang besar dan mulia. 


          Saat acara registrasi selesai, aku pun masuk ke dalam gedung mengikuti acara dan membantu kegiatan yang lain. Setelah acara penyambutan dan sebagainya, tiba-tiba Manda maju ke depan ruangan untuk berbagi tentang kisah hidupnya sebelum menggunakan hijab. Sebuah kisah luar biasa yang begitu menginspirasi, sebuah kisah yang memutar kembali memoriku saat pertama kali bertemu dengannya, saat ia masih gila’ :D dengan dunianya sampai ia menjadi sosok yang anggun seperti sekarang. Tiba-tiba ia menyebut namaku – aku tersentak kaget – Ya, ia menceritakan tentang diriku yang menimaninya saat fase-fase perubahan dirinya. 


          Tanpa kusadari, derai air mata mengalir di wajahku, ia mengingatkanku tentang betapa beratnya cobaan yang kami hadapi dulu. Masa-masa dimana terjadi pertikaian dan derai air mata diantara kami. Konflik demi konflik berdatangan pada kami berdua, bahkan bibit-bibit kebencianpun muncul pada kami berdua. Namun kini, itu semua berubah menjadi kenangan manis, tanpa konflik itu, tanpa bibit kebencian itu, kami tidak akan pernah bisa menjadi sahabat seperti sekarang. Impian kami berdua adalah menjadi sahabat yang mendapat ridhoNya tidak hanya di dunia namun juga di akhirat kelak. Ingin rasanya aku berlari menghampiri dan memeluknya saat itu – namun rasa maluku membuat kedua kakiku tidak mampu untuk bergerak. Terima Kasih sahabatku.. Kau ajari aku arti sebuah persahabatan.

- - -

Alhamdulillah, aku berkumpul kembali dengan sahabat-sahabatku. Aku senang melihat mereka tertawa bersama. Penyerahan kado ulangtahun pun kami berikan pada Ega – walau sudah amat sangat terlambat :D - namun aku senang melihatnya tersenyum terispu malu melihat boneka minion yang besar itu. Terima kasih ya Allah, kau berikan aku sahabat – sahabat yang baik di dunia ini. Tidak hanya kalian tetapi juga sahabat-sahabatku di FARIS dan juga HIKMAH yang telah banyak memberikanku ilmu dan pelajaran hidup. Alhamdulillah, sungguh tak terhitung nikmat yang sudah Kau berikan padaku.. Terima Kasih ya Allah atas kasih sayang yang telah Engkau berikan kepada kami semua. :D

* * * * *

Aku memang tidak bisa merangkai kata-kata. Aku juga tidak bisa menulis puisi dengan baik.. tapi puisi ini.. terinspirasi karena kalian sahabat-sahabatku :)



Sahabat

Engkau hadir atas skenario Nya

Engkau datang bukan tanpa alasan

Engkau datang..

Karena engkau telah dipilih oleh Nya

Sahabat

Perjalanan hidup ini memang berat

Perjalanan hidup ini memang hanya sebuah persinggahan

Sahabat

Ambillah setiap kebaikan yang kaudapatkan dalam hidupmu

Buanglah setiap keburukan yang ada pada dirimu

Tegurlah aku jikala aku salah

Kuatkanlah aku jikala aku lemah

Maafkan aku jikala aku menyakitimu

Sahabat

Aku ingin menjadi sahabat terbaik untukmu

Hingga kelak nanti..

Saat kita berada di alam sana

Kita akan sama-sama mengatakan

Aku beruntung bersahabat dengannya