Lorong Hitam
Rahmi Imanda
8:36 AM
0 Comments
Hari
ini emak berangkat pagi sekali, bahkan sebelum shubuh. Tongkat panjang dan
gendongan pun sudah siap di tangan dan pundaknya, dengan mengucap salam emak
pergi meninggalkan kami. Aku langsung menutup pintu gubuk ini agar si adik
tidak kedinginan. Ternyata si adik tertidur pulas, angin dingin yang menerpanya
sama sekali tidak membuatnya terusik.
“Aldo...!!”
Tiba-tiba saja Ale berada di depan
gubukku. Tumben sekali dia datang sepagi ini.
“Iya kenapa Le?” tanyaku
penasaran.
“kenapa? Kau lupa
ya, katanya kau ingin bertemu dengan Ramdan, ayo kita jalan sekarang.”
“Apa harus sepagi
ini?”
“Ya harus, kau
ingin dapat uang tidak?”balasnya.
Aku melihat Rara yang mulai terusik
dari tidur lelapnya. Suara serak dan besar Ale membuatnya terbangun. “Hada hapa
sih kak.. haku ..sih ngantuk”ucap adiknya dengan mulut yang terbuka lebar. Sebenarnya
aku tak tega meninggalkan si adik sepagi ini. Namun apa boleh buat.
“Ra, kakak mau
pergi ke Kota sama Ale, kau tidak apa-apa kalau kakak tinggal sendiri?”
“Kakak ngapain ke Kota, tumben.. ? ” tanya Rara
yang sudah mulai sadar.
“Kakak ada
urusan. Sebentar lagi shubuh, setelah sholat kau langsung berangkat sekolah
saja.”
Tanpa
banyak pertanyaan dari Rara, ia pun melangkah menuju kamar mandi. Si adik
kecilku ini memang anak yang penurut. Akupun segera bersiap-siap dan pergi
meninggalkan gubuk reyot itu. Di shubuh yang sejuk ini, seharusnya kami
menghirup udara segar, namun aroma dari tumpukan sampah ini ternyata tidak mau
kalah dari aroma pagi. Aku berjalan mengikuti setiap langkah Ale, melewati
tumpukan sampah manusia kota yang taunya hanya membuang sampah seenaknya saja. Tak
lama kemudian aku melihat seorang ibu-ibu dengan wajah yang sudah kriput,
matanya sipit dengan warna hitam yang mengelilinginya. Tangan kurusnya mengais
lembaran-demi lembaran plastik, diikuti dengan matanya yang tajam bak mencari
sebuah permata. Aku jadi teringat akan emak yang setiap harinya melakukan hal
sama dengan ibu itu, bedanya emak tidak mengais-ngais di tumpukan sampah ini,
tapi di gedung-gedung mewah dan pabrik bangunan. Sering kali emak menemukan
sisa-sia makanan yang masih utuh di sana. Bahkan emak pernah menemukan sebuah
tas, yang sekarang dipakai Rara.
Tekadku
untuk mendapatkan uang yang banyak semakin membuncah. Kupercepat langkah kakiku
yang kering kerontang tidak berdaging. “Aku sudah siapkan ini.” Ale memberiku
sebuah alat musik yang terbuat dari kayu dan tutup botol bekas. Setelah
berjalan dua jam lebih, kami akhirnya sampai di jalanan kota. Orang-orang mulai
berhamburan ke jalanan. Sedan-sedan mewah berpacuan satu sama lain. Ale
mengajakku naik ke atas angkot, dan seperti biasa kami mulai menyanyikan
senandung lagu kebangsaan.
...Hidup di jalanan bukan untuk pelarian
jalanan.. bukan sandaran.. jalanan bukan pelarian..
Jalanan .. bukan khayalan ...
Seorang
anak sekolah terlihat duduk di pojokan angkot sambil membaca buku yang dipegangnya.
Enak sekali dia bisa belajar di sekolah menggunakan pakain seragam dan punya
banyak teman untuk diajak bermain. Kemudian di depannya terlihat seorang
bapak-bapak dengan gaya duduknya bagaikan seorang raja, dia terlihat sibuk
memainkan jemarinya dengan sebuah kotak yang disebut orang-orang dengan tablet. Benda apa itu? Katanya itu
adalah sebuah benda yang jauh lebih canggih dari sebuah handphone. Ingin sekali aku mencoba memegangnya. Namun impian itu
kubuang jauh-jauh. Handphone saja
belum pernah megang, apalagi yang lebih canggih dari itu? Pikirku. Penumpang
yang lain terlihat duduk dengan tenang, salah seorang diantara mereka ada yang
sibuk melihat jam tangannya, keningnya berkerut dan kakinya tak henti-hentinya
bergetar. Aku tak tahu apakah mereka menikmati atau mengumpat kehadiran kami
diantara mereka. Berbagai raut ekspresi yang aneh dan jijik sudah menjadi hal
yang biasa bagi kami.
Receh
demi recehpun kami terima. Si supir angkot menurunkan kami di sebuah perempatan
jalan.
“Masih
jauh le?”tanyaku penasaran.
“tidak
jauh dari sini, kau ikuti saja aku.” Balasnya.
Kamipun
sampai di sebuah perkampungan rumah susun. Ternyata penghuni perumahan itu
masih golonganku, warga miskin yang terlantar. Setelah melewati beberapa gang
kecil, kamipun sampai di sebuah lorong hitam dan gelap yang jauh dari mata
warga. Tiba-tiba Ale berhenti, dia membalikkan badan dan melihatku tanpa
ekspresi.
“Apa
kau yakin dengan keputusan kau ini?”
“Tentu
saja.” Jawabku menghela nafas, berulang kali dia menanyakan hal ini padaku.
“kau
siap dengan konsekuensinya?”
“Aku
siap.” Jawabku mantap.
Raut
kepasrahan terlihat di wajahnya. Aku tahu, dia berharap aku akan mengurungkan
niatku, tapi aku sudah lelah dengan kemiskinan ini, aku ingin bebas. Tak lama
kemudian aku melihat sosok lelaki dengan wajah sangar memandang kami berdua,
aku yakin inilah Ramdan si anak gangster yang katanya bisa membantu
permasalahnku. Mulutnya menghembuskan asap rokok, sorot matanya tajam, raut
mukanya sangar, dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi dengan tato. Aku tahu
keputusanku untuk bergabung dengan gangster ini adalah hal yang sangat berisiko.
Tapi melihat kondisi emak yang sudah tua, dan si adik yang butuh biaya untuk
sekolah, aku tidak punya pilihan lain. Aku sebagai anak sulung harus mampu
membiayai sekolah adikku, jangan sampai dia mengalami nasib yang sama denganku.
“ini
orangnya?”tanya lelaki berwajah sangar itu.
“iya
bang, namanya Aldo.”
“Kurus
kerontang begini, bisa apa kau?” tanyanya kasar, membuat nyaliku sedikit ciut.
“Saya
bisa jadi pembantu bang, disuruh beli ini itu juga saya mau, asal dapat uang.”jawabku
berusaha mantap.
“jadi
pembantu? Kenapa harus kesini kalau hanya sekedar ingin jadi pembantu? Bisa
berkelahi TIDAK ?” tanyanya semakin keras.
Akupun terdiam, nyaliku semakin
menciut, aku mana bisa berkelahi. Tiba-tiba sebuah hantaman yang amat kuat
menerpa perutku. Rasanya perih sekali, lebih perih daripada menahan lapar
berhari-hari. Aku mulai terkulai dan hampir jatuh ke lantai, saat serangan
kedua menghantam hidungku. Dengan mata sayu aku melihat Ale berdiam diri, aku tahu
dia tidak bisa berbuat apa-apa. Darah mulai mengalir dari hidungku, aku
berusaha melawan. Serangan demi serangan menghampiriku. Tapi aku tidak mau
menyerah, dengan badan terhuyung aku terus berusaha melawan, hingga akhirnya
aku jatuh terkulai ke tanah dan tidak sadarkan diri.
***
“Aldo..
bangun nak, Aldo..” suara itu sangat familiar, dan membuatku syok. Aku membuka
mataku dan melihat wajah keriput bercahaya itu tepat dihadapanku. Matanya bengkak
dan merah, kekhwatiran terpancar jelas di raut wajahnya. Aku bingung, Ale duduk
di sampingku. Mataku mencari-cari ke sekeliling, namun aku tidak melihat sosok Ramdan.
“emak..
kenapa emak ada disini?” tanyaku setelah kesadaran memenuhi pikiranku.
Emak
kemudian memukulku sangat keras.
“Auu...”
Rasa ngilu pukulan emak ini mungkin
tidak sesakit yang dirasakannya. Wajahnya terlihat kesal dan sedih. “Apa yang
ada di otak kau ini hah? Apa menurut kau, bergabung dengan gangster itu akan membuat emak senang?”
Akupun
bingung, ku tatap Ale dengan marah. Beraninya dia memberitahu emak. Ale
menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Aku tidak tahu sekali, tiba-tiba saja
ibu kau ada di sini.”Ale membela diri.
“Maafkan
aku bu.”hanya itu yang bisa kuucapkan. Air mata mulai berjatuhan dari matanya,
dia memukulku semakin keras. Setiap pukulan yang diberikannya bisa kurasakan
sebagai lambang kesedihannya.
“Jangan
pernah sekalipun kau berfikir untuk melakukannya lagi...” Emak kemudian mengatur
nafasnya yang tidak karuan “..Boleh jadi kita manusia termiskin di dunia ini,
tapi jangan sampai kita miskin harga diri dan miskin akhlak. Ingat itu
baik-baik” lanjutnya.
Kulihat
raut wajah itu dengan seksama, ketenangan dan kedamaian yang selama ini kulihat
hilang dari wajahnya, yang ada hanya kesedihan dan kekecewaan. Sungguh teganya
aku membuat wajah ini bersedih, kemudian akupun memeluknya, aku tidak ingin lagi
membuat harta berharga ku ini bersedih. Emak mengelus kepalaku dengan lembut,
semakin membuatku merasa bersalah.
“Janji
nak sama emak. Jangan sampai kau kehilangan kekayaan hati kau. Ingat itu.”ucap
emak penuh kelembutan dan kehangatan.
“Iya
mak, aku janji.. apapun yang terjadi, aku akan berusaha keras untuk menghidupi
keluarga ini, tanpa kehilangan kekayaan hatiku.”
- dreanimeir -