Cuaca di negeri Minang saat itu begitu
tenang dan damai. Sesekali aku duduk di dekat jendela, hanya sekedar untuk menikmati
angin sepoi-sepoi dan memandangi perkebunan di depan rumahku, berbagai jenis
bunga bermekaran menghiasi halaman rumah. Aku adalah anak bungsu dengan dua
orang kakak laki-laki dan dua orang kakak perempuan. Kakak tertuaku sedang
merantau di tanah jawa untuk menuntut ilmu. Saat itu, di rumah hanya ada aku dan
kakak perempuanku, Suci. Kedua orangtuaku sedang bertani begitu juga dengan
nenekku, sedangkan kedua kakakku yang lain belum pulang sekolah.
Cuaca cerah di sore
hari itu tiba-tiba berubah menjadi gelap. Hujan berjatuhan ke permukaan bumi,
dan cuaca mulai tidak bersahabat. Kak Suci menyuruhku untuk tidak berdiri di
dekat jendela rumah, diapun menutup pintu jendela rapat-rapat. Gemuruh angin
mulai terdengar, hujan semakin lebat, dan petir mulai bersahut-sahutan. Kami
dua gadis kecil hanya bisa mengintip melalui jendela rumah, memperhatikan cuaca
yang semakin memburuk. Tiba-tiba pohon pepaya di depan rumah kami tumbang
mengenai salah satu rumah sewaan milik keluargaku. Aku dan juga kakakku mulai
ketakutan. Tetanggaku yang ditimpa tumbangan pohon tadi bersorak lewat jendela,
meminta kami untuk tidak panik dan segera berlari ke rumah mereka.
Kepanikan sempat
terjadi saat kakakku mencari kunci rumah. Akhirnya kamipun meninggalkan rumah gadang itu dan masuk kerumah sewaan tetangga.
Untungnya rumah kami dan rumah sewaan itu memiliki pintu yang terhubung dari
dalam. Setelah badai hujan berhenti seorang tetangga teman baik ibuku, Bu Teti,
datang untuk menjemput kami. Dia meminta kami untuk menunggu di rumahnya. Aku
dan kakakku hanya mengikuti, karena kami sudah mengenalnya dengan baik. Begitu
kami memasuki rumahnya, banyak pecahan kaca bertebaran di rumah. Ternyata atap
rumah kami juga tumbang dan menimpa jendela rumahnya. Aku yang waktu itu baru
beurumur 6 tahun merasa takut seandainya kami tidak mempunyai rumah lagi.
“Nanti kami tinggal dimana?” aku bertanya pada kakakku.
“Tentu saja di rumah keluarga. Kamu masih punya rumah.” jawab
Bu Teti menghapus kekhawatiranku. Aku masih punya rumah keluarga. Rumah besar milik keluargaku yang dihuni oleh lebih dari
satu kepala keluarga, di Minangkabau biasanya di kenal dengan rumah basamo, sebuah rumah yang diwarisi
secara turun-temurun untuk anak cucu. Tidak lama kemudian semua keluargaku,
nenek, kedua orangtuaku, dan juga kakak-kakakku pulang ke rumah. Mereka melihat
atap rumah mereka sudah hancur parah, tidak bisa untuk diperbaiki lagi. Rumah gadangku sudah tidak bisa ditempati
lagi. Aku sekeluarga akhirnya pindah ke rumah 'basamo', yang berlokasi tidak jauh dari rumahku.
Saat itu hidup
keluargaku tidak berkecukupan. Ibuku hanya seorang pegawai negri biasa,
sepulang kerja dia langsung bertani ke sawah. Ayahku sering berjualan pakaian
ke luar daerah selama beberapa minggu, dan setiap dia balik ke rumah, dia bekerja
ke sawah dan menjual hasil panen ke pasar bersama ibuku. Membiayai sekolah kelima
anak mereka membuat mereka bekerja banting tulang dari pagi hingga sore. Nenekku
memberikan solusi untuk keluarga kami, agar membangun sebuah ruko di tanah
warisan miliknya.
Setelah beberapa bulan
ruko itupun selesai dibangun. Awalnya ruko itu disewakan untuk orang lain.
Namun karena tidak ada kabar dari calon penyewa, akhirnya kakak perempuanku
yang tertua berinisiatif untuk berjualan di ruko itu. Saat itu dia sedang
liburan panjang, dan dia sempat berfikir untuk tidak
melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, demi membantu kedua orangtuaku. Teman
sekantor ibuku menyarankannya untuk berjualan makanan khas Minang, sanjai,
makanan khas Minang yang terbuat dari ubi. Dia mengenalkan kami kepada beberapa
produsen keripik, selain itu dia juga membantu keluargaku caranya berdagang.
Berjualan keripik sanjai,
ternyata membuahkan hasil. Karena lokasinya berada di pinggir jalan, banyak mobil
pribadi dan mobil travelan yang bersinggahan untuk membeli makanan khas Minang
ini. Toko kamipun mulai dikenal banyak orang dan banyak yang telah menjadi
pelanggan setia kami. Dari situlah terbukanya jalan bagi keluargaku untuk
membiayai sekolah kami. Awalnya, beberapa tetanggaku mengira bahwa kakak
perempuanku yang paling tua, tidak akan bisa melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi. Mereka tidak yakin, anak seorang pedagang keripik mampu membiayai
sekolah sampai ke perguruan tinggi. Namun, Allah berkata lain, justru kelima anak
pedagang keripik ini mampu sekolah sampai ke perguruan tinggi berkat kerja
keras, usaha dan juga do'a. Meskipun aku tidak bisa lagi menikmati indahnya
tinggal di bangunan khas rumah gadang,
aku bersyukur karena Allah menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik
lagi dan jauh lebih berharga melalui musibah itu. Ada hikmah dibalik setiap
musibah, dan lewat musibah itu datang jalan baru menuju yang lebih baik lagi.
- dreanimeir -
i am crying before the story end | ya Allah ampuni dosa-dosa kedua orangtua kami, nenek kami, saudara2 kami, dan keluarga kami.
BalasHapus