Follow Us @soratemplates

18 Desember 2013

Alhamdulillah, Musibah itu Menimpa Keluargaku

Cuaca di negeri Minang saat itu begitu tenang dan damai. Sesekali aku duduk di dekat jendela, hanya sekedar untuk menikmati angin sepoi-sepoi dan memandangi perkebunan di depan rumahku, berbagai jenis bunga bermekaran menghiasi halaman rumah. Aku adalah anak bungsu dengan dua orang kakak laki-laki dan dua orang kakak perempuan. Kakak tertuaku sedang merantau di tanah jawa untuk menuntut ilmu. Saat itu, di rumah hanya ada aku dan kakak perempuanku, Suci. Kedua orangtuaku sedang bertani begitu juga dengan nenekku, sedangkan kedua kakakku yang lain belum pulang sekolah.

Cuaca cerah di sore hari itu tiba-tiba berubah menjadi gelap. Hujan berjatuhan ke permukaan bumi, dan cuaca mulai tidak bersahabat. Kak Suci menyuruhku untuk tidak berdiri di dekat jendela rumah, diapun menutup pintu jendela rapat-rapat. Gemuruh angin mulai terdengar, hujan semakin lebat, dan petir mulai bersahut-sahutan. Kami dua gadis kecil hanya bisa mengintip melalui jendela rumah, memperhatikan cuaca yang semakin memburuk. Tiba-tiba pohon pepaya di depan rumah kami tumbang mengenai salah satu rumah sewaan milik keluargaku. Aku dan juga kakakku mulai ketakutan. Tetanggaku yang ditimpa tumbangan pohon tadi bersorak lewat jendela, meminta kami untuk tidak panik dan segera berlari ke rumah mereka.

Kepanikan sempat terjadi saat kakakku mencari kunci rumah. Akhirnya kamipun meninggalkan rumah gadang itu dan masuk kerumah sewaan tetangga. Untungnya rumah kami dan rumah sewaan itu memiliki pintu yang terhubung dari dalam. Setelah badai hujan berhenti seorang tetangga teman baik ibuku, Bu Teti, datang untuk menjemput kami. Dia meminta kami untuk menunggu di rumahnya. Aku dan kakakku hanya mengikuti, karena kami sudah mengenalnya dengan baik. Begitu kami memasuki rumahnya, banyak pecahan kaca bertebaran di rumah. Ternyata atap rumah kami juga tumbang dan menimpa jendela rumahnya. Aku yang waktu itu baru beurumur 6 tahun merasa takut seandainya kami tidak mempunyai rumah lagi. “Nanti kami tinggal dimana?” aku bertanya pada kakakku.

“Tentu saja di rumah keluarga. Kamu masih punya rumah.” jawab Bu Teti menghapus kekhawatiranku. Aku masih punya rumah keluarga. Rumah besar milik keluargaku yang dihuni oleh lebih dari satu kepala keluarga, di Minangkabau biasanya di kenal dengan rumah basamo, sebuah rumah yang diwarisi secara turun-temurun untuk anak cucu. Tidak lama kemudian semua keluargaku, nenek, kedua orangtuaku, dan juga kakak-kakakku pulang ke rumah. Mereka melihat atap rumah mereka sudah hancur parah, tidak bisa untuk diperbaiki lagi. Rumah gadangku sudah tidak bisa ditempati lagi. Aku sekeluarga akhirnya pindah ke rumah 'basamo', yang berlokasi tidak jauh dari rumahku.

Saat itu hidup keluargaku tidak berkecukupan. Ibuku hanya seorang pegawai negri biasa, sepulang kerja dia langsung bertani ke sawah. Ayahku sering berjualan pakaian ke luar daerah selama beberapa minggu, dan setiap dia balik ke rumah, dia bekerja ke sawah dan menjual hasil panen ke pasar bersama ibuku. Membiayai sekolah kelima anak mereka membuat mereka bekerja banting tulang dari pagi hingga sore. Nenekku memberikan solusi untuk keluarga kami, agar membangun sebuah ruko di tanah warisan miliknya.

Setelah beberapa bulan ruko itupun selesai dibangun. Awalnya ruko itu disewakan untuk orang lain. Namun karena tidak ada kabar dari calon penyewa, akhirnya kakak perempuanku yang tertua berinisiatif untuk berjualan di ruko itu. Saat itu dia sedang liburan panjang, dan dia sempat berfikir untuk tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, demi membantu kedua orangtuaku. Teman sekantor ibuku menyarankannya untuk berjualan makanan khas Minang, sanjai, makanan khas Minang yang terbuat dari ubi. Dia mengenalkan kami kepada beberapa produsen keripik, selain itu dia juga membantu keluargaku caranya berdagang.


       Berjualan keripik sanjai, ternyata membuahkan hasil. Karena lokasinya berada di pinggir jalan, banyak mobil pribadi dan mobil travelan yang bersinggahan untuk membeli makanan khas Minang ini. Toko kamipun mulai dikenal banyak orang dan banyak yang telah menjadi pelanggan setia kami. Dari situlah terbukanya jalan bagi keluargaku untuk membiayai sekolah kami. Awalnya, beberapa tetanggaku mengira bahwa kakak perempuanku yang paling tua, tidak akan bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Mereka tidak yakin, anak seorang pedagang keripik mampu membiayai sekolah sampai ke perguruan tinggi.  Namun, Allah berkata lain, justru kelima anak pedagang keripik ini mampu sekolah sampai ke perguruan tinggi berkat kerja keras, usaha dan juga do'a. Meskipun aku tidak bisa lagi menikmati indahnya tinggal di bangunan khas rumah gadang, aku bersyukur karena Allah menggantinya dengan sesuatu yang jauh lebih baik lagi dan jauh lebih berharga melalui musibah itu. Ada hikmah dibalik setiap musibah, dan lewat musibah itu datang jalan baru menuju yang lebih baik lagi.

- dreanimeir -

1 komentar:

  1. i am crying before the story end | ya Allah ampuni dosa-dosa kedua orangtua kami, nenek kami, saudara2 kami, dan keluarga kami.

    BalasHapus