Derasnya
hujan dan kencangnya hembusan angin membuat Fatin gemetar kedinginan. Dia
memeriksa tas ranselnya berulang kali, tapi tetap saja ia tidak bisa
menemukannya. “Mana payungku?”batinnya. Cuaca di sore hari itu sangat buruk,
Fatin terjebak di depan sebuah toko seorang diri. Tiba-tiba ia mendengar suara
yang sudah tidak asing lagi ditelinganya.
“Fatin,
kamu kenapa bisa sampai disini? Kamu sendirian?” tanya Rian kaget, penuh
kekhawatiran. “Untunglah kamu ada disini. Tadi akupergi belanja, dan ternyata
payungku ketinggalan.”balas Fatin. Rian saat itu juga langsung mengajak Fatin
meninggalkan toko tersebut.
“Kita
mau kemana?”
“Aku
akan mengantarmu pulang, naiklah!”
Sebuah mobil sedan terparkir di depan
toko itu. Rian membukakan pintu mobil untuk Fatin, dan mereka pun meninggalkan
toko itu. Fatin dan Rian hanya terdiam selama perjalanan, cuaca dingin saat itu
membuat bibir mereka membeku. Mereka berdua hanyut dalam kenangan masa lalu.
“Kamu
darimana Rian?” tanya Fatin memecah kesunyian.
“Dari
kampus, tanpa sengaja aku melihatmu berdiri sendirian di depan toko itu.”
“Apa
kamu sehat?”Fatin kembali bertanya.
“Iya..
aku.. sehat. Bagaimana denganmu?”
Fatin kemudian tersenyum dengan
manisnya. “Sangat baik, karena aku bisa bertemu lagi denganmu, walaupun hanya
suaramu yang bisa kudengar.” Balas Fatin.
“Apa
kau tidak membenciku?” tanya Rian dengan suara bergetar.
“Tidak.”jawabnya
lembut.
“Gara-gara
aku, kamu menjadi buta seperti ini, bahkan.. kamupun putus sekolah. Kamu pantas
membenciku.” Penyesalan yang amat dalam terdengar jelas dari suaranya.
“Aku
tidak pernah membencimu, semua itu hanya musibah. Rian.. jangan pernah salahkan
dirimu atas kecelakaan itu. Aku mungkin tidak akan bisa melihat lagi indahnya
dunia, tapi aku tidak ingin kehilangan seorang sahabat sebaikmu.” Tanpa sadar
airmata bercucuran dari kedua bola matanya. Tabrakan
mobil dua tahun lalu itu, membuat kedua sahabat ini menjadi semakin jauh,
bahkan tidak ada komunikasi lagi diantara mereka. Rian yang saat itu menyetir
mobil hanya mengalami luka ringan, namun Fatin harus kehilangan penglihatannya,
Rian merasa posisi mereka tertukar,dialah yang seharusnya kehilangan
penglihatannya. Mereka pun akhirnya sampai di sebuah
rumah di pinggiran kota.
“Fatin...”
“Ya...?”
“Mmm...
mulai besok.. aku akan sering mengunjungi dan mengantarkanmu kemanapun kamu
pergi, apa kamu memberiku izin?” tanya Rian.
“Tentu saja.” Balas Fatin dengan
senyum manisnya.
Kesedihan dan kesepian serta perasaan
bersalah selama dua tahun ini, kini semuanya berakhir dengan sebuah pertemuan yang
tak terduga, dan komunikasi yang seharusnya mereka lakukan dari dulu.
- dreanimeir -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar