Follow Us @soratemplates

21 Desember 2013

Lorong Hitam


Hari ini emak berangkat pagi sekali, bahkan sebelum shubuh. Tongkat panjang dan gendongan pun sudah siap di tangan dan pundaknya, dengan mengucap salam emak pergi meninggalkan kami. Aku langsung menutup pintu gubuk ini agar si adik tidak kedinginan. Ternyata si adik tertidur pulas, angin dingin yang menerpanya sama sekali tidak membuatnya terusik.

“Aldo...!!”

          Tiba-tiba saja Ale berada di depan gubukku. Tumben sekali dia datang sepagi ini. 

“Iya kenapa Le?” tanyaku penasaran.

“kenapa? Kau lupa ya, katanya kau ingin bertemu dengan Ramdan, ayo kita jalan sekarang.”

“Apa harus sepagi ini?”

“Ya harus, kau ingin dapat uang tidak?”balasnya.

          Aku melihat Rara yang mulai terusik dari tidur lelapnya. Suara serak dan besar Ale membuatnya terbangun. “Hada hapa sih kak.. haku ..sih ngantuk”ucap adiknya dengan mulut yang terbuka lebar. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan si adik sepagi ini. Namun apa boleh buat.

“Ra, kakak mau pergi ke Kota sama Ale, kau tidak apa-apa kalau kakak tinggal sendiri?”

“Kakak ngapain ke Kota, tumben.. ? ” tanya Rara yang sudah mulai sadar.

“Kakak ada urusan. Sebentar lagi shubuh, setelah sholat kau langsung berangkat sekolah saja.”

Tanpa banyak pertanyaan dari Rara, ia pun melangkah menuju kamar mandi. Si adik kecilku ini memang anak yang penurut. Akupun segera bersiap-siap dan pergi meninggalkan gubuk reyot itu. Di shubuh yang sejuk ini, seharusnya kami menghirup udara segar, namun aroma dari tumpukan sampah ini ternyata tidak mau kalah dari aroma pagi. Aku berjalan mengikuti setiap langkah Ale, melewati tumpukan sampah manusia kota yang taunya hanya membuang sampah seenaknya saja. Tak lama kemudian aku melihat seorang ibu-ibu dengan wajah yang sudah kriput, matanya sipit dengan warna hitam yang mengelilinginya. Tangan kurusnya mengais lembaran-demi lembaran plastik, diikuti dengan matanya yang tajam bak mencari sebuah permata. Aku jadi teringat akan emak yang setiap harinya melakukan hal sama dengan ibu itu, bedanya emak tidak mengais-ngais di tumpukan sampah ini, tapi di gedung-gedung mewah dan pabrik bangunan. Sering kali emak menemukan sisa-sia makanan yang masih utuh di sana. Bahkan emak pernah menemukan sebuah tas, yang sekarang dipakai Rara.

Tekadku untuk mendapatkan uang yang banyak semakin membuncah. Kupercepat langkah kakiku yang kering kerontang tidak berdaging. “Aku sudah siapkan ini.” Ale memberiku sebuah alat musik yang terbuat dari kayu dan tutup botol bekas. Setelah berjalan dua jam lebih, kami akhirnya sampai di jalanan kota. Orang-orang mulai berhamburan ke jalanan. Sedan-sedan mewah berpacuan satu sama lain. Ale mengajakku naik ke atas angkot, dan seperti biasa kami mulai menyanyikan senandung lagu kebangsaan.

...Hidup di jalanan bukan untuk pelarian
jalanan.. bukan sandaran.. jalanan bukan pelarian..
Jalanan .. bukan khayalan ...

Seorang anak sekolah terlihat duduk di pojokan angkot sambil membaca buku yang dipegangnya. Enak sekali dia bisa belajar di sekolah menggunakan pakain seragam dan punya banyak teman untuk diajak bermain. Kemudian di depannya terlihat seorang bapak-bapak dengan gaya duduknya bagaikan seorang raja, dia terlihat sibuk memainkan jemarinya dengan sebuah kotak yang disebut orang-orang dengan tablet. Benda apa itu? Katanya itu adalah sebuah benda yang jauh lebih canggih dari sebuah handphone. Ingin sekali aku mencoba memegangnya. Namun impian itu kubuang jauh-jauh. Handphone saja belum pernah megang, apalagi yang lebih canggih dari itu? Pikirku. Penumpang yang lain terlihat duduk dengan tenang, salah seorang diantara mereka ada yang sibuk melihat jam tangannya, keningnya berkerut dan kakinya tak henti-hentinya bergetar. Aku tak tahu apakah mereka menikmati atau mengumpat kehadiran kami diantara mereka. Berbagai raut ekspresi yang aneh dan jijik sudah menjadi hal yang biasa bagi kami.

Receh demi recehpun kami terima. Si supir angkot menurunkan kami di sebuah perempatan jalan.

“Masih jauh le?”tanyaku penasaran.

“tidak jauh dari sini, kau ikuti saja aku.” Balasnya.

Kamipun sampai di sebuah perkampungan rumah susun. Ternyata penghuni perumahan itu masih golonganku, warga miskin yang terlantar. Setelah melewati beberapa gang kecil, kamipun sampai di sebuah lorong hitam dan gelap yang jauh dari mata warga. Tiba-tiba Ale berhenti, dia membalikkan badan dan melihatku tanpa ekspresi.

“Apa kau yakin dengan keputusan kau ini?”

“Tentu saja.” Jawabku menghela nafas, berulang kali dia menanyakan hal ini padaku.

“kau siap dengan konsekuensinya?”

“Aku siap.” Jawabku mantap.

Raut kepasrahan terlihat di wajahnya. Aku tahu, dia berharap aku akan mengurungkan niatku, tapi aku sudah lelah dengan kemiskinan ini, aku ingin bebas. Tak lama kemudian aku melihat sosok lelaki dengan wajah sangar memandang kami berdua, aku yakin inilah Ramdan si anak gangster yang katanya bisa membantu permasalahnku. Mulutnya menghembuskan asap rokok, sorot matanya tajam, raut mukanya sangar, dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi dengan tato. Aku tahu keputusanku untuk bergabung dengan gangster ini adalah hal yang sangat berisiko. Tapi melihat kondisi emak yang sudah tua, dan si adik yang butuh biaya untuk sekolah, aku tidak punya pilihan lain. Aku sebagai anak sulung harus mampu membiayai sekolah adikku, jangan sampai dia mengalami nasib yang sama denganku.

“ini orangnya?”tanya lelaki berwajah sangar itu.

“iya bang, namanya Aldo.”

“Kurus kerontang begini, bisa apa kau?” tanyanya kasar, membuat nyaliku sedikit ciut.

“Saya bisa jadi pembantu bang, disuruh beli ini itu juga saya mau, asal dapat uang.”jawabku berusaha mantap.

“jadi pembantu? Kenapa harus kesini kalau hanya sekedar ingin jadi pembantu? Bisa berkelahi TIDAK ?” tanyanya semakin keras. 

Akupun terdiam, nyaliku semakin menciut, aku mana bisa berkelahi. Tiba-tiba sebuah hantaman yang amat kuat menerpa perutku. Rasanya perih sekali, lebih perih daripada menahan lapar berhari-hari. Aku mulai terkulai dan hampir jatuh ke lantai, saat serangan kedua menghantam hidungku. Dengan mata sayu aku melihat Ale berdiam diri, aku tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa. Darah mulai mengalir dari hidungku, aku berusaha melawan. Serangan demi serangan menghampiriku. Tapi aku tidak mau menyerah, dengan badan terhuyung aku terus berusaha melawan, hingga akhirnya aku jatuh terkulai ke tanah dan tidak sadarkan diri.

***
“Aldo.. bangun nak, Aldo..” suara itu sangat familiar, dan membuatku syok. Aku membuka mataku dan melihat wajah keriput bercahaya itu tepat dihadapanku. Matanya bengkak dan merah, kekhwatiran terpancar jelas di raut wajahnya. Aku bingung, Ale duduk di sampingku. Mataku mencari-cari ke sekeliling, namun aku tidak melihat sosok Ramdan.

“emak.. kenapa emak ada disini?” tanyaku setelah kesadaran memenuhi pikiranku.
Emak kemudian memukulku sangat keras.

“Auu...” Rasa ngilu pukulan emak ini mungkin tidak sesakit yang dirasakannya. Wajahnya terlihat kesal dan sedih. “Apa yang ada di otak kau ini hah? Apa menurut kau, bergabung dengan gangster itu akan membuat emak senang?”

Akupun bingung, ku tatap Ale dengan marah. Beraninya dia memberitahu emak. Ale menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Aku tidak tahu sekali, tiba-tiba saja ibu kau ada di sini.”Ale membela diri.

“Maafkan aku bu.”hanya itu yang bisa kuucapkan. Air mata mulai berjatuhan dari matanya, dia memukulku semakin keras. Setiap pukulan yang diberikannya bisa kurasakan sebagai lambang kesedihannya.

“Jangan pernah sekalipun kau berfikir untuk melakukannya lagi...” Emak kemudian mengatur nafasnya yang tidak karuan “..Boleh jadi kita manusia termiskin di dunia ini, tapi jangan sampai kita miskin harga diri dan miskin akhlak. Ingat itu baik-baik” lanjutnya.

Kulihat raut wajah itu dengan seksama, ketenangan dan kedamaian yang selama ini kulihat hilang dari wajahnya, yang ada hanya kesedihan dan kekecewaan. Sungguh teganya aku membuat wajah ini bersedih, kemudian akupun memeluknya, aku tidak ingin lagi membuat harta berharga ku ini bersedih. Emak mengelus kepalaku dengan lembut, semakin membuatku merasa bersalah.

“Janji nak sama emak. Jangan sampai kau kehilangan kekayaan hati kau. Ingat itu.”ucap emak penuh kelembutan dan kehangatan.

“Iya mak, aku janji.. apapun yang terjadi, aku akan berusaha keras untuk menghidupi keluarga ini, tanpa kehilangan kekayaan hatiku.”
- dreanimeir -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar