Follow Us @soratemplates

30 November 2013

Kasus ‘Pencurian’ Pulsa Telepon Seluler


Jumlah pelanggan ponsel tahun 2006 sekitar 63 juta dan pada tahun 2010 telah meningkat hampir 350 persen menjadi 211,1 juta pelanggan. Operator Telkomsel, Indosat, dan XL-Axiata menguasai hampir 85 persen dari total pelanggan ponsel. Jika dilihat dari jenis pelanggan berdasarkan operator maka masih didomasi oleh pelanggan prabayar, hal ini karena pertimbangan kemudahan mengontrol penggunaan, nomimal prabayar lebih terjangkau, dan kemudahan menjadi pelanggan.
Kasus ‘pencurian’ pulsa ternyata banyak dialami pelanggan prabayar tersebut. Pengaduan tentang jasa telekomunikasi menduduki ranking pertama pengaduan yang diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Selama tiga tahun terakhir, hingga triwulan pertama tahun 2011, aduan telekomunikasi masih tetap menjadi peringkat pertama (17,9 persen dari 156 aduan). Hampir separuh aduan telekomunikasi berkaitan layanan content provider (CP). Total aduan hingga Juni tahun 2011 telah mencapai 39 aduan langsung dan 288 aduan secara tertulis. Bahkan 46,7 persen dari pengaduan jasa telekomunikasi tersebut merupakan kasus short messaging service (SMS) ‘pencurian’ pulsa. Keluhan ‘pencurian’ pulsa ini juga diterima Lingkar Studi Mahasiswa (Lisuma) Jakarta sebanyak 418 pengaduan. YLKI di Jawa Timur juga telah mencatat terdapat 659 kasus ‘pencurian’ pulsa melalui SMS, bahkan pertengahan tahun 2011 telah meningkat sebanyak 120 kasus dibanding tahun 2009.
Secara umum ada dua motif ‘pencurian’ pulsa, yaitu (1) mendapatkan pulsa dan (2) mendapatkan uang/transfer. Modus operandi ‘pencurian’ pulsa biasanya melalui SMS. Beberapa metode yang digunakan, yaitu (1) SMS ‘mama minta pulsa’, (2) SMS ‘Kredit Tanpa Agunan’, dan (3) SMS content premium yang merupakan kerja sama resmi antara pihak penyelenggara telekomunikasi dancontent. Sebenarnya layanan tersebut dilakukan dengan Perjanjian Kerja Sama yang di dalamnya menyangkut hak dan kewajiban para pihak. Dalam pasal-pasal tersebut tidak tertera adanya tindakan mengambil pulsa dengan cara menipu atau mencuri.
Modus operandi kasus pertama sudah banyak ditinggalkan, sedangkan kasus ‘minta transfer’ dimulai ketika pelanggan menerima SMS yang berisi permintaan untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening. Modus operandi yang ketiga menurut analis forensik digital, Gunaris, setidaknya ada tiga modus operandi ‘pencurian’ pulsa, yaitu (1) premium call. Modusnya pengguna telepon menerima SMS premium, lalu pengguna telepon membalas SMS tersebut untuk mengecek dengan memasukkan kode tertentu dalam rangka mengklaim bonus atau hadiahnya. Meskipun jawabannya tidak sesuai permintaan, pulsa tetap terpotong, (2) pulsa ‘dicuri’ jika pengguna merespon game murah di TV seharga Rp 1.000. Format itu sebenarnya bukan untuk membeli game, melainkan mendaftar pada content tertentu, dan (3) pemilik content menelepon pengguna telepon dan menawarkan content. Meskipun pemilik telepon tidak setuju mendaftar, nomornya akan didaftarkan secara paksa dan pulsa dicuri.
Pihak Asosiasi telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) dan Indonesian Mobile and Online Content Provider Association (IMOCA) menjelaskan bahwa layanan SMS content premium merupakan layanan nilai tambah yang diberikan hanya kepada pelanggan yang telah setuju untuk membeli content atau yang disebut dengan istilah opt-in. Secara teknis tidak dimungkinkan adanya pemotongan pulsa pelanggan tanpa adanya permintaan pelanggan atas content tersebut. Untuk menyikapi hal ini, ATSI dan IMOCA menyadari untuk meningkatkan upaya sosialiasi dan edukasi kepada pelanggan tidak ‘terjebak’ ketika melakukan proses opt-in.

Dampak ‘Pencurian’ Pulsa Telepon Seluler
Kejahatan tersebut menimbulkan kerugian yang bersifat non-materi dan ekonomis materil. Kerugian non-materi yaitu menyangkut rasa aman dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan kerugian ekonomis materil dijelaskan oleh Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dimana pada umumnya yang menjadi korban ‘pencurian’ pulsa adalah orang kecil yang rata-rata hanya mengisi pulsa Rp5.000-Rp10.000. Jika dikumpulkan, maka jumlah nominal pulsa ponsel yang dicuri sangat besar. YLKI memperkirakan perputaran uang dari ‘pencurian’ pulsa melebihi Rp100 miliar per bulan. Angka ini cukup masuk akal karena satu pemilik dengan enam perusahaan content dapat mengumpulkan omset hingga Rp30 miliar per satu operator. Di Indonesia terdapat 220 juta nomor ponsel aktif dan 93 persennya merupakan pelanggan pulsa prabayar yang hanya mengisi pulsa Rp5000 hingga Rp10.000. Jika satu pengguna ponsel pulsanya dicuri Rp3000 per minggu, maka kerugiannya mencapai lebih dari Rp600 miliar. Ini adalah kasus yang sudah meresahkan masyarakat. Berdasarkan data YLKI, hingga kuartal pertama 2011, jumlah nomor ponsel aktif sudah mencapai 243 juta. Angka ini tumbuh 10 persen dari September 2010 yang baru mencapai 180 juta.
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sebagai badan yang mengawasi regulasi telekomunikasi telah mengambil berupaya (1) untuk jangka pendek, BRTI akan terus menerima pengaduan melalui pos pengaduan yang telah disiapkan bersama Kemenkominfo, (2) untuk jangka panjang, BRTI akan menelusuri bersama dan melakukan audit terhadap operator maupun CP. Jika ditemukan tindak kriminal maka akan diserahkan kepada Bareskrim, dan (3) menyiapkan regulasi tentang SMS spam. Sejak Oktober tahun 2011, BRTI telah mem-black list 60 CP dan akan ditindaklanjuti ke kepolisian. Masalah menjadi semakin rumit dimana Kemenkominfo tidak dapat serta merta mencabut izin CP karena pertimbangan disinsentif bagi perkembangan industri kreatif content dan aplikasi di dalam negeri. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) juga memiliki perhatian lebih terhadap industri content digital ini karena melibatkan banyak industri lain, seperti industri musik, game, dan entertainment. Berbeda dengan perkembangan industri musik di luar negeri, industri musik di dalam negeri tumbuh karena layanan content Ringback Tone (RBT).

Kebijakan dan Perundang-Undangan
Permasalahan yang terjadi saat ini, khususnya ‘pencurian’ pulsa dapat dihindarkan jika mengikuti regulasi melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 1 Tahun 1009 tentang  Penyelenggaraan Jasa Pesan Premium dan Pengiriman Jasa Pesan Singkat (Short Messaging Service/SMS) ke Banyak Tujuan (Broadcast). Asimetris informasi di antara konsumen sebagai pengguna jasa telekomunikasi tersebut juga memiliki andil terjadinya ‘pencurian’ pulsa. Oleh sebab itu sosialisasi peraturan dan juga teknis operasi bisnis di lapangan harus ditingkatkan, baik dari provider maupun asosiasi. Sedangkan untuk mengantisipasi perkembangan sektor telekomunikasi dan informatika ke depan yang semakin kompleks, terdapat wacana untuk menghadirkan UU konvergensi yang diharapkan dapat memfasilitasi dan mensinergikan pengaturan di bidang telekomunikasi dan informatika secara komprehensif dan tidak parsial seperti saat ini.

Penutup        

Perubahan paradigma telekomunikasi Indonesia harus menjadi peluang yang pontesial untuk digunakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu peran pemerintah, BRTI, asosiasi, service provider, dan CP menjadi penting untuk memfasilitasi penggunaan layanan telekomunikasi yang fair dan bermanfaat, serta tidak memihak hanya kepada kepentingan operator ponsel. Lemahnya peran BRTI dan kurangnya sosialisasi tentang  proses penyelenggaraan jasa telekomuniasi tersebut telah memberi ruang munculnya kasus ‘pencurian’ pulsa.

Sumber:
http://iw4nhermawan.wordpress.com/2011/11/10/kebijakan-dan-pasar-telekomunikasi-di-indonesia-kasus-%E2%80%98pencurian%E2%80%99-pulsa-telepon-seluler/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar