“Seandainya..” Andre bergumam. Matanya tertuju pada sebuah buku
dengan cover merpati yang sedang terbang bebas di udara.
“Disaat mau skripsi begini masih saja disuruh
melakukan penelitian. ” Seto datang memecah lamunannya.
“Kamu suka hewan, Ndre?” tanya Seto.
“Ah.. bukan. Hanya sekedar ingin melihat-lihat saja.”balasnya.
“Kelewatan deh, Bu Asri. Memberi tugas
disaat-saat sudah mau skripsi.
Kebayang tidak,
aku di suruh bikin dua jurnal sekaligus, belum lagi dengan kelas
tambahan.” Seto terlihat sangat emosi saat memperlihatkan buku yang berjudul Jurus Ampuh Membuat Jurnal.
“Tapi.. kamu masih suka, kan?” Andre bergumam.
“Suka? Yang benar saja.. mana ada yang suka diberi tugas banyak seperti ini.” balas Seto balik.
“Setidaknya sesulit apapun itu, kamu masih menikmatinya.” gumam Andre penuh makna.
“Aku bisa apa, Ndre. Ini sudah menjadi kewajiban kita sebagai seorang
mahasiswa. Oh iya, kamu kapan, Ndre. Masuk kuliah lagi? Memangnya kamu
tidak
kasihan dengan ibumu
yang sering sakit-sakitan. Bukannya kamu sekarang sudah menjadi anak satu-satunya?” Ucap Seto
tanpa menyadari raut wajah Andre yang sudah berubah.
“Kamu seharusnya tahu, kalau aku tidak suka ada orang yang mengungkit hal itu.”balasnya, kemudian dia pun pergi meninggalkan Seto
begitu saja.
“Andre..!!” terdiak Seto.
Semua mata tertuju padanya, seorang
anak laki-laki jangkung menatap Seto melalui kacamatanya yang bulat, jari
telunjuk menempel dimulutnya yang monyong. Namun Andre sama sekali tidak
menoleh.
“Aku minta maaf,
Ndre…”
teriaknya tanpa memperdulikan tatapan mata yang tertuju padanya.Andre pergi
meninggalkan toko buku itu dengan perasaan marah dan juga sedih.
Sebuah bunyi pesan masuk ke handphone
nya. Mata
Andre terlihat berbinar, senyum merekah dibibirnya yang tipis. Andre
melangkahkan kakinya dengan cepat, menuju studio. Tempat di mana teman-temannya sudah menanti.
Begitu memasuki ruangan, Andre
langsung menyambar gitar klasik nya yang berwarna biru tua. Membuat penampilannya semakin
kontras dengan bajunya yang berwarna biru langit. Andre mulai memainkan senar
gitarnya, lalu menyanyikan sebuah lagu yang dia ciptakan sendiri. Diiringi iringan
musik lain yang dimainkan oleh beberapa temannya, lagu itu terdengar indah dan merdu. Setelah satu jam berlalu, tiba-tiba handphone nya berdering kembali. Andre menatap
layar handphonenya cukup lama. Dalam sekejap wajah Andre berubah
masam, lalu dia pun menjawab panggilan itu.
“Halo”
“Andre..!! Pulang kamu sekarang!”
suara dari balik panggilan itu terdengar sangat marah, lalu memutuskan
panggilannya.
“Kenapa, Ndre?”tanya temannya, yang
seorang drummer.
“Aku harus balik sekarang.”jawabnya.
“Pasti dari ayahmu ya?” tanya Sera, teman pdianis nya.
Andre hanya tersenyum kecut, lalu
pergi meninggalkan teman-temannya.
---
PLAK!!
Pipi Andre memerah saat telapak tangan
ayahnya menyambar pipi kanannya. Matanya nanar melihat kamarnya yang berantakan
dengan pecahan gitar. Andre langsung berlari mengambil pecahan
– pecahan itu.
“Apa ini?” tanya ayahnya memegang
selembar brosur kompetisi musik.
Andre hanya diam. Dia masih saja mengumpulkan
pecahan-pecahan gitar yang bertebaran dimana-mana. Kemudian ayahnya pun datang menarik tangan Andre, dan mendorongnya ke dinding.
“Jawab!!” bentak ayahnya lagi.
Bibir Andre tertutup rapat. Dia membalas
tatapan ayahnya cukup lama.
“Anak kurang ajar. Tidak tahu diri.
Seandainya kakakmu tidak mengalami kecelakaan, pasti dia akan menjadi anak yang
sukses sekarang. Tidak seperti kamu, yang tahunya hanya mengahabiskan uang dan
bermain musik tidak karuan.”
“Sudah, Pa.. Sudah.”
Ibu Andre yang sedari tadi diam menahan tangis, mencoba untuk menenangkan
ayahnya.
“Kamu juga..!! Membesarkan anak satu
saja tidak bisa. Dasar istri
tidak berguna.” bentak ayahnya.
Andre berusaha sekuat tenaga untuk menahan gejolak amarah dan emosinya, dia tidak ingin membuat ibunya
khawatir. Ibu Andre
terlihat sangat ketakutan, derai air mata mengalir di wajahnya yang rapuhh.
“Sekarang katakan. Sejak
kapan kamu mulai berhenti kuliah?” tanya
ayahnya. Lagi-lagi Andre berdiam diri.
“JAWAB !!” hardiknya.
Andre di pukul lagi, namun ibunya yang berusaha melindungi Andre justru terkena
pukulan ayahnya. Andre merangkul
ibunya dengan lembut. Ayahnya menghela nafas dalam, lalu pergi meninggalkan
mereka berdua. Andre melihat ibunya berusaha menahan rasa sakit, kemudian dari hidung ibunya mulai keluar
darah. Melihat hal itu, kemarahan dan kebencian
pada ayahnya semakin bertambah. Andre mulai naik pitam, dia mengejar ayahnya, lalu melemparinya dengan pecahan-pecahan
gitar yang ada ditangannya.
Pertikaian pun tidak bisa dihentikan.
Ayahnya berbalik memukul Andre
habis-habisan. Namun untuk pertama kalinya, Andre membalas pukulan ayahnya. Perkelahianpun tidak dapat dihindarkan antara ayah dan
anak.
“Hentikan. Sudah cukup hentikan, Andre.!”
Pinta ibunya dengan suara bergetar. Namun Andre mengabaikan perintah ibunya. Saat ayahnya berusaha memukul Andre, lagi-lagi ibunya
datang untuk melindungi Andre.
Kecelakaan pun terjadi, pukulan itu tepat mengenai ibunya hingga terjatuh ke tangga. Tubuh ibunya yang lemah berguling melewati setiap anak
tangga.
“Ibu....!!” terdiak
Andre ketakutan. Melihat darah istrinya yang mengalir di lantai membuat ayah Andre terdiam kaku
tidak berdaya. Dia terduduk di lantai, tidak kuat menahan beban tubuhnya yang syok.
“Bu..
bangun, Bu. Andre mohon, Bu.” Air
matanya jatuh di wajah ibunya yang penuh dengan darah.
---
“Dokter. Bagaimana keadaan ibu saya,
Dok?”tanya Andre. Dokter itu diam sejenak. Dia mengelus
bahu Andre. “Sabar ya, Nak.” Kemudia dokter itupun pergi meninggalkan Andre.
Andre terhentak bagaikan disambar petir. Dia mengumpulkan
seluruh tenaganya untuk berjalan
memasuki ruang UGD. Kakinya terasa kaku, setiap langkah kecilnya terasa begitu
lama, seolah-olah waktu berhenti berputar. Semakin dia dekat dengan sosok yang
ditutupi dengan kain putih itu, semakin jantungnya berdetak tidak karuan.
Tangannya yang gemetar berusaha untuk membuka kain yang menutupi wajah ibunya.
Andre menatap wajah penuh cinta itu dengan seksama. Kini
wajah itu telah menjadi kaku dan pucat, tidak ada beban lagi diwajah yang rapuh itu. Mulut Andre bergetar saat
berusaha memanggil ibunya. Air mata
jatuh bertubi-tubi, membanjiri wajahnya.
Andre mencium
kening ibunya untuk yang terakhir kalinya. Tangannya yang masih gemetar berusaha untuk menutup kembali wajah
ibunya dengan hati yang tertekan. Saat itu juga, ayah Andre datang
menghampirinya. Matanya basah, dan untuk kedua kalinya setelah kematian kakaknya, dia melihat ayahnya tidak
berdaya. Saat Andre keluar ruangan, dia berbisik kepada ayahnya.
“Asal anda tahu. Riko kakak saya bukan
mati karena kecelakaan. Tapi karena bunuh diri. Dan, itu semua karena tekanan
yang selalu anda berikan kepadanya. Kini dia sudah bebas, sama seperti ibu saya
yang sudah terbebas dari anda.”
~ SEKIAN ~
.
BalasHapusso sad
REJEKI NOMPLOK
KENANGAN ITU BERMUNCULAN KEMBALI
AKU PERGI DULU SAYANG, MUNGKIN KU TAKKAN KEMBALI
.